Archive for February 18, 2008

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Biografi

Muhammad bin Abi Bakr, bin Ayyub bin Sa’d al-Zar’i, al-Dimashqi, bergelar Abu Abdullah Syamsuddin, atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Nama lengkapnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, dinamakan al-jauzyyah karena ayahnya berada / menjadi penjaga (qayyim) di sebuah sekolah lokal yang bernama Al-Jauziyyah.

Ibn Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat di sebuah kampung yang bernama Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Damsyq (Damaskus), Suriah Beliau dilahirkan pada tanggal 4 Februari 1292 M atau 7 Shaffar 691 H, dan meninggal pada 23 September 1350) adalah seorang Imam Sunni, cendekiawan, dan ahli fiqh yang hidup pada abad ke-13.

 

Pendidikan

Berkat pendidikan intensif yang diberikan orangtuanya, Ibn Qayyim pun tumbuh menjadi seorang yang dalam dan luas pengetahuan serta wawasannya. Ibnu Qayyim berguru ilmu hadits pada Syihab an-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru tentang fiqh kepada Syekh Safiyyuddin al-Hindi dan Isma’il bin Muhammad al-Harrani; berguru tentang ilmu pembagian waris (fara’idh) kepada bapaknya; dan juga berguru selama 16 tahun kepada Ibnu Taimiyyah.

Beliau belajar ilmu faraidh dari Ayahnya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu tersebut. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’, kitab al-Jurjaniyah, Alfiyah Ibnu Malik, dan sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu beliau juga belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur. Ibn Qayyim belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.

Cakupan bidang keilmuannya demikian luas. Misalnya saja dia pernah belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, ilmu fikih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ismail bin Muhammad al-Harraniy. Dia pun terkenal dalam pengetahuannya tentang mazhab-mazhab Salaf. Hingga akhirnya dia bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H. Ketika itu, Ibnu Qayyim sedang pada awal masa mudanya.

Oleh karenanya dia berkesempatan mereguk sumber ilmunya dari mata air yang luas. Pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dia cerna benar-benar. Ibn Qayyim pun amat mencintainya, sampai-sampai dia mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibn Qayyim juga menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.

Ibnu Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibn Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Beliau memperingatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam firqah Islamiyah.

Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai hadits, makna hadits, pemahaman serta istinbath-istinbath kerumitnya, sulit ditemukan tandingannya. Begitu pula, pengetahuan beliau tentang ilmu suluk dan ilmu kalam-nya tasawwuf, isyarat-isyarat serta detail-detailnya. Beliau memang amat menguasai terhadap berbagai bidang ilmu ini.

Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau. Mereka adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah :

1.       Anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah

2.       Anaknya yang lain bernama Ibrahim,

3.       Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah

4.       Al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah

5.       Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi

6.       Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy

7.       Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy

8.       Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i

9.       Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky

10.   Taqiyuddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i

Manhaj serta hadaf Ibn Qayyim adalah kembali kepada sumber-sumber Dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama. Oleh sebab itulah beliau mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji (belajar dan mengkaji) langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama Waratsatun nabi (pewaris Nabi).

 

Komitmen

Ibn Qayyim senantiasa berpegang pada ijtihad serta menjauhi taqlid. Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur. Diambilnya istinbath hukum berdasarkan petunjuk Alquran, sunnah nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para sahabat serta apa-apa yang disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan para imam fikih.

Waktu yang ada benar-benar telah dicurahkannya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan berdialog. Karenanya, banyak tokoh-tokoh ternama adalah para muridnya. Mereka merupakan ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab Al-Hambali Al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, dan masih banyak lagi.

Ibn Qayyim juga merupakan seorang peneliti ulung. Dia mengambil semua ilmu dan segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir. Kemudian disusunnya kitab-kitab fikih, kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh. Jumlah tulisannya sangat banyaknya, dan keseluruhan kitab-kitabnya itu memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanya Ibn Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.

 

Karya Besar

Beberapa karya besarnya antara lain; Tahdzib Sunan Abi Daud, I’lam al-Muwaqqi’in an Rabbil Alamin, Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban, Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan, Bada I’ul Fawa’id, Amtsalul Quran, dan Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina Wajhan.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 13 Rajab tahun 751 Hijriyah. Setelah dishalatkan keesokan harinya usai shalat Dzuhur di Masjid Jami Besar Dimasyq (Al-Jami Al-Umawi), ulama ini dikuburkan di tanah pekuburan Al-Babus Shaghir.

 

Ibn Qayyim dalam Pandangan Orang Salafi

Menurut pandangan kaum salafi, Ibn Qayyim merupakan sosok dan figur yang memiliki acuan untuk kembali kepada madzhab salaf, bahkan Fazlurrahman menyebutnya sebagai perintis neo sufisme. Sebuah aliran tasawuf yang memiliki ciri utama berupa penekanan terhadap motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah atau konsentrasi kerohanian dalam upaya mendekati Tuhan. Gejala ini berupaya menghidupkan kembali doktrin salafi dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia.

Di antara ciri-ciri aliran salafi yang dikembangkan oleh Ibn Qayyim, adalah sebagai berikut:

1.       Memberi ruang dan peluang ijtihad di dalam berbagai kajian keagamaan.

2.       Tidak terikat secara mutlak dengan pendapat ulama-ulama terdahulu.

3.       Memerangi orang-orang yang menyimpang dari aqidah kaum salaf.

4.       Kembali kepada Al Qur’an dan As-Sunnah sebagai rujukan utama ajaran Islam.

Ibn Qoyyim selalu teguh berpedoman pada kitab suci Al Qur’an dan As-Sunah. Beliau memiliki target mengembalikan syari’at Islam kepada sumber yang jernih, yakni sebagai sumber agama yang lurus, bersih, tidak keruh oleh pendapat ahli bid’ah, dan tidak tercampur oleh pendapat orang-orang yang merusak agama.

Memang, mereka (tokoh salafi) tidak mewarisi umatnya dengan segunung emas ataupun segudang dirham. Namun, mereka meninggalkan hal yang lebih penting dari itu semua, ilmu. Beliau selalu menghindarkan taqlid buta, bahkan menyalahkannya. Prinsipnya adalah berijtihad dan melemparkan taqlid jauh-jauh dari pemikiran umat Islam. Beliau jugalah yang memelopori kemerdekaan berpikir pada saat masyarakat terbelenggu dalam pemikiran dogmatis.

Imam Asy-Syaukani memberikan komentar, “Ibn Qoyyim adalah figur yang memiliki landasan dalil yang shahih, selalu menegakkan kebenaran, dan tidak mau bertoleransi dengan kebatilan, sikap inilah yang jarang dijumpai.”

 

Khazanah Intelektual Ibn Qayyim

Bukanlah suatu hal yang aneh apabila Ibn Qayyim menjelma sebagai sosok inelektual yang handal. Beliau dibesarkan dalam iklim yang sangat subur, ketika banyak ulama alim yang hidup pada waktu itu. Sejak dini beliau benar-benar sudah memberikan dirinya untuk menekuni dunia pendidkan baik di bidang fikih, bahasa, ilmu kalam dantasawuf. Begitu juga dengan perhatian beliau dalam sejarah kenabian dan sejarah umum. Ilmu-ilmu sosial yang beliau pelajari juga cukup memadai. Para pembaca karya-karya beliau akan dibuat tercengang mengetahui bahwa beliau juga sangat mahir dalam bidang sastra, ilmu nahwu dan kemahiran olah sya`ir. Beliau sangat menguasai berbagai keahlian dan pengetahuan yang sedang melejit pada jamannya. Beliau dalah seorang kutu buku dan mempunyai koleksi buku yang tidak terhitung jumlahnya. Sampai-sampai setelah beliau wafat, anak keturunannya menjual buku-buku koleksi tersebut dengan membutuhkan waktu beberapa tahun. Itu belum termasuk yang sengaja dijadikan koleksi pribadi bagi mereka sendiri.

Hukum Islam

Kritik Terhadap nalar Tekstual

Nalar Tekstual

Nalar sebagai sebentuk kesadaran kebahasaan dalam hubungannya dengan peran kitab suci sebagai sistem epistemologis (teori pengetahuan) akan menjadi sebuah identitas ideologis atau pandangan dunia yang akan memposisikan diri sebagai alat ukur kebenaran. Ciri nalar tekstual adalah dominannya “otoritas teks” dalam sistem pengetahuan yang dibangun yang berasal dari wahyu, hadist, dan pemikiran intelektual terdahulu.

Dalam nalar tekstual, peran bahasa begitu penting untuk membentuk realitas, bukan sebaliknya realitas yang membentuk bahasa. Seperti pembahasan awal tentang struktur kesadaran, nalar tidak mampu keluar dari kungkungan struktur kebahasaan yang menjadi alat untuk mentransformasikan ide atau gagasan, karena dunia telah diciutkan dan dilipat dalam bahasa. Maka, secara epistemik kesadaran manusia akan terpenjara dalam suatu konteks ruang dan waktu tertentu. Kesadarannya adalah kesadaran masa lalu. Hal inilah yang dikonsepsikan oleh Muhammad Arkoun tentang parameter-parameter yang ‘terpikirkan’, ‘yang tak terpikirkan’ dan ‘tak mungkin terpikirkan’.

Sebagai sistem pengetahuan, nalar tekstual dalam pendekatan tata pemainan bahasa (language-games) ala Wittgenstein adalah penentu dalam aturan permainan bahasa. Seperti permainan catur, manusia digerakkan oleh hukum-hukum kebahasaan yang telah ditentukan dan di sinilah sistem makna tercipta. Dan tidak ada alasan bagi kita untuk menolak anggapan bahwa sistem sosial kita tersusun seperti halnya bahasa, sebab tanpa bahasa manusia tak mampu mendefinisikan diri dan dunianya, melalui bahasa manusia mengatur dirinya.

Dalam konteks pembahasan kita, kerancuan nalar tekstual adalah ketika menganggap bahwa segala persoalan realitas telah terangkum dalam teks. Lupa bahwa alam semesta adalah teks kebahasaan yang tak terhingga, bahwa pengalaman lebih luas dari bahasa. Dalam pemahaman Heidegger bahasa semata-mata sebagai deskripsi atau alat penyampai informasi, maka dengan sendirinya kita menciutkan dan mendistorsikan pengertian kita tentang “dunia” dan “eksistensi”. Maka, gugatan kita selayaknya diarahkan pada proses pembakuan teks hasil interpretasi ulama terdahulu terhadap wahyu sebagai tafsir otoritatif modus penjelasan realitas.

Untuk menjadi peradaban alternatif, Islam perlu melakukan dekonstruksi pada tataran epistemologis, maksudnya perubahan dilakukan pada aspek terdasar bagaimana sistem pengetahuan itu dibentuk. Tujuan kita melakukan kritik terhadap bangunan nalar tekstual adalah untuk memberi jaminan pada nalar lainnya, misalnya ide kontekstualisasi Islam.

Kritik Terhadap Nalar Tekstual Islam

Munculnya berbagai gerakan pembaharuan dalam Islam mulai dari yang bercorak fundamentalis, revivalis, tekstual sampai kontekstual merupakan suatu keniscayaan sosio-historis yang perlu diapresiasi dan dieksplorasi. Diskursus renaisans (kelahiran kembali) Islam yang marak dikaji adalah upaya memberi pendasaran epistemologis (teoritik dan metodis) bagi tujuan ideologis (cita-cita Islam) seperti yang pernah digagas oleh Ziauddin Zardar, Muhammad Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun dan sederet nama lainnya.

Isu kebangkitan Islam manjadi tantangan tersendiri untuk mendobrak tesis Fukuyama tentang ‘Akhir dari Sejarah’ (the end of history) yang bermuara pada ‘demokrasi liberal’ dan terciptanya masyarakat konsumtif. Masih adakah harapan munculnya kembali Islam sebagai peradaban alternatif di tengah krisis patologi modernitas. yakni untuk melakukan pembedahan terhadap gerakan pemikiran Islam dengan mengambil latar belakang kritik nalar tekstual.

Merujuk pada pandangan Arkoun dalam bukunya kritik nalar Islam, Menurut Arkoun; Kritik tidak mungkin dilakukan jika hanya dengan pendekatan tekstual terhadap formulasi internal teks, karena –meminjam teori hermeneutik komunikatif Habermas– nalar, makna, dan kebenaran objektif, bukanlah semata-mata produk teks, melainkan adalah produk komunikasi dialektik antara teks dengan konteks. Dalam pandangan Arkoun, pemahaman terhadap al-Quran merekomendasikan telaah atas konteks audience yang mempengaruhi pembentukan formulasi teks. Al-Quran tidak boleh dipandang hanya sebagai teks an sich, melainkan harus dipahami sebagai teks komunikatif dan dialektik, seperti teori Habermas, misalnya sebagaimana pembacaan al-Jahidh terhadap teks-teks Arab.

Sebelum kita membahas kritik terhadap nalar klasik, sebelumnya kita harus membahas konsep dan struktur nalar terlebih dahulu. Konseptualisasi dan strukturisasi nalar memiliki peran penting dalam ruang bedah kritik-analitik. Nalar, menurut disiplin humaniora yang diadopsi oleh Arkoun, dikonseptualisasikan sebagai fenomena historis yang senantiasa berubah secara dinamis sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Nalar, dalam konseptualisasi disiplin humaniora, tidak memiliki dimensi transendensialitas, melainkan sebagai entitas yang memiliki dimensi historisitas. Konseptualisasi seperti ini secara gamblang berbeda dengan konsep nalar dalam perspektif neo-platonisme ataupun Aristotelian, dimana nalar dipandang sebagai kekuatan abadi yang mendapat pancaran akal aktif metafisis guna menerangi setiap kekuatan demonstratif manusia.

Nalar, dalam teori Arkoun, bersifat inklusif dan juga pluralis. Nalar sangat beragam tergantung pada keberagaman metode-metode. Nalar yang digunakan oleh Hasan Basyri berbeda dengan nalar Ibn Khaldun. Nalar Ibn Khaldun berbeda dengan nalar Abduh. Nalar Abduh berbeda dengan nalar Renan, dan seterusnya. Nalar Abduh sama sekali tidak mengenal terma-terma filologi, sementara nalar Renan tidak mengenal khayalan dan khurafat keagamaan yang justru menjadi materi kritik Abduh. Oleh sebab itu, istilah ‘nalar’ dalam teori Arkoun seyogyanya dipahami sebagai ‘metode’.

Historisitas Nalar Ushul Fiqh

Dalam mengkaji diskurus ini, Arkoun memilih Syafi’i sebagai sample. Pembacaannya terhadap al-Risalah karya Syafi’i sampai pada kesimpulan seperti –kurang lebih– kesimpulan Nashr Hamid Abu Zaid. Kesimpulan Arkoun tersebut dapat disederhanakan dalam poin-poin berikut: 1) Upaya Syafi’i menjustifikasi dan memberikan pembasisan terhadap supremasi bahasa Arab sebagai bahasa transendental agama yang sacret; 2) pembasisan dan sakralisasi sunnah berdasarkan tafsiran skriptural atas teks-teks al-Quran dan teori sinonimitas. Akibatnya, sunnah menjadi transendental, ahistoris, dan terkuduskan sebagaimana kudusnya al-Quran; 3) Syafi’i telah berupaya menundukkan akal di bawah hegemoni teks.


Sejarah Nalar Islam

Dengan terilhami oleh amukan-amukan teoritis ‘diskontinuitas’ Michel Foucault, Arkoun secara epistemik membagi sejarah nalar Islam menjadi empat penggalan (rupture): 1) era pendasaran nilai-nilai Islam. Episteme nalar Islam pada periode kenabian ini ditandai oleh wacana-wacana yang inklusif, realistis, historis, dialektik, dan gradual; 2) era nalar Islam klasik seiring dengan pembasisan disiplin ilmu pengetahuan. Retakan-retakan sejarah nalar Islam klasik ini dimulai sejak pertengahan abad pertama sampai penghujung abad keempat. Meskipun pada periode ini di satu sisi terdapatkan kecenderungan negatif berupa munculnya percikan inklinasi ortodoksi yang hendak mengenyahkan dimensi-dimensi historisitas, namun, di sisi lain, gerakan keilmuan berkembang pesat, terutama di kawasan Damaskus, Baghdad, Cordoba, Cairo, dan sebagainya, dengan didukung oleh otoritas imperium dan antusiasme kalangan borjuis. Pada era ini, kecenderungan ortodoksi masih kalah oleh kecenderungan dialektik antara agama dan nalar. Periode ini juga menyaksikan munculnya inklinasi humanisme di tangan Miskawayh dan Abu Hayan al-Tawhidi.

Struktur Internal Nalar Islam: Proyek Harmonisasi Kesadaran Islami

Pada tataran permukaan, nalar Islam tampak sangat beragam. Ada nalar Sunni, nalar Syi’i, nalar Khawariji, nalar teologis, nalar mistis, nalar filosofis, nalar politis, nalar fikih, dan nalar-nalar yang lain. Sepanjang bentangan sejarah Islam, nalar-nalar ini senantiasa bertarung di atas altar yang terjejali oleh antagonisme. Namun pada tataran substansial atau esensial, nalar-nalar tersebut sejatinya memiliki kesamaan struktur internal yang dapat dijadikan acuan untuk menyatukan kesadaran Islam. Untuk merealisasikan kerja ini, Arkoun meminjam konsep ‘Tipologie’ Aristoteles yang tampaknya juga diterima oleh kalangan strukturalis. Bagi Aristoteles, konsep ‘Tipologie’ adalah “barometer universal yang mencakup varian analogi dan aksioma”. Definisi ini kemudian dimodifikasi oleh Arkoun guna membangun ‘tipologi struktur internal nalar Islam’ (al-mawqi’iyyah li bunyah al-dakhiliyyah li ‘aql al-Islami), yakni “struktur internal umum yang mengakomodir persoalan-persoalan yang diperdebatkan oleh nalar Sunni vis a vis nalar Syi’i, dan nalar-nalar lainnya”. Kesamaan struktur internal tersebut antara lain sebagai berikut:

(1)     Semua nalar Islam tunduk pada teks primer (baca: al-Quran), tak terkecuali nalar para filosof maupun Muktazilah. Jika ada perbedaan, maka perbedaan itu hanya berkisar pada tataran metodologi pengahampiran teks atau mekanisme berinteraksi dengan teks.

(2)      Struktur internal nalar Islam dicirikan dengan ketundukan pada otoritas imam-imam.

(3)     Nalar firqah najihah. Berangkat dari hadits keterpecahan umat Islam menjadi 73 sekte, maka masing-masing sekte mengklaim golongan mereka sebagai sekte benar yang selamat, sementara sekte lainnya salah dan masuk nereka. Semua sekte memiliki karakteristik yang sama, yakni mengklaim di pihak yang benar. Kesamaan klaim ini adalah kesamaan struktur internal nalar sekte-sekte. Bagi Arkoun, untuk menyatukan kesadaran Islam amat dibutuhkan kritik terhadap nalar-nalar sekratianistik Islam. Umat Islam dewasa ini harus menyadari bahwa agama mereka hanyalah satu, sementara perbedaan sektarianistik hanyalah produk faktor politis dan historis. Dus, di sini kita dapat melihat bahwa Arkoun tidak hanya memandang perbedaan, melainkan juga persamaan antar sekte-sekte. Dengan pandangan yang serempak ini, Arkoun ingin melampaui capaian-capaian orientalis, misalnya, seperti capaian Luis Massignon, Henri Corbin, dan Henri Laust, yang secara monolitik hanya mengkaji persamaan atau perbedannya saja.

(4)     Nalar Islam adalah nalar ortodoksi yang ahistoris. Nalar ortodoksi dicirikan oleh sikapnya yang acap mendaku memiliki dimensi transendensialitas yang melampaui ruang-ruang historis. Untuk itu, kritik nalar Islam bertugas mendesakralisasi dan mendekonstruksi dimensi transendensialitas dengan menundukkan nalar tersebut pada historisitas.

Pembaharuan Hukum Islam Indonesia

Perdebatan tentang elastisitas dan adaptabilitas hukum dengan tuntutan kondisi sosial menjadi perdebatan serius dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Secara umum, jurist Muslim juga terpilah menjadi dua kelompok: kelompok pro perubahan dan anti perubahan, alias pro status quo. Pemilahan seperti ini akan tampak dengan jelas ketika kita melihat pemikiran mereka tentang konsep maslahah dan peluang yang mereka berikan kepada peranan adat. Al-Ghazzali, al-Shatibi dan Abdul Wahhab Khallaf, misalnya, bisa dikatagorikan kepada aliran pro perubahan, sementara para pemegang kebijakan kolonial, seperti van Den Berg, cenderung kepada kelompok sebaliknya. Kelompok anti perubahan ini mendasarkan argumennya pada kesakralan dan keabsolutan konsep hukum Islam, terisolirnya asal-usul dan perkembangan hukum dari lembaga perubahan hukum dan masyarakat dalam sejarah Islam serta kurang cukupnya metodologi perubahan hukum Islam.

Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.

Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.

Munculnya era reformasi yang menjadi lambang menguatnya civil society dan runtuhnya mitos birokrasi yang me”mapan”kan cengkeraman kuku-kuku kekuasaan seakan menjadi awal yang baik bagi terbukanya peluang pengembangan hukum Islam yang mengakar pada social demand dan bukan pada kepentingan politik negara.

Desakralisasi ushul al fiqh

Setiap ilmu itu bersifat nisbi dan relatif tingkat kebenarannya. Ilmu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sudah pasti, berhenti, dan tidak bisa dipermasalahkan lagi tingkat aktualitasnya. Setiap ilmu harus dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pengembangan daya nalar dan kreativitas kaum Muslim pada masa tertentu. Oleh karena itu, mengutip Hasan A Al Turabi dalam Tajdid Al Fikr Al Islami, suatu ilmu bisa saja akan tampak canggih dan berwibawa dalam memberikan solusi-solusi berbagai permasalahan hukum Islam pada masa lalu, tetapi bisa jadi tampak tak berdaya bila diterapkan pada masa sekarang ini. Ini amat wajar terjadi, karena ia disusun dalam kondisi historis dan dipengaruhi oleh watak problematika hukum Islam yang menjadi pembahasan hukum Islam waktu itu (abad pertengahan) (Turabi, 2003).

Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan pesat, sementara hukum Islam lama berpijak pada pengetahuan terbatas ihwal metode perumusan sistem hukum yang mempunyai relevansi dengan realitas alam dan norma-norma sosial. Di lain pihak, ilmu tekstual yang dimiliki kaum Muslim di masa itu sangat minim, dan sarana untuk menelaah, meneliti, serta menyebarkan ilmu juga masih sulit. Singkat kata menurut Al Turabi, saat ini, memikirkan kembali formulasi metodologi pengambilan hukum dalam kerangka pembaruan ilmu ushul al fiqh menjadi kebutuhan yang amat mendesak.

Di Indonesia sendiri, perhatian terhadap pentingnya pembaruan ushul al fiqh telah digagas oleh banyak kalangan baik secara perorangan ataupun kelompok. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa, pembaruan juga perlu menyentuh aspek substansial yang meliputi sisi ontologi dan epistemologi. Artinya, paradigma yang menjadi fondasi bangunan ushul al fiqh klasik selama ini tidak luput dari kritik dan dekonstruksi (suatu upaya ambisius yang dapat menuai kritik balasan yang cukup pedas).

Namun, sedikit mengabaikan kemungkinan terakhir itu, terlihat ada hal yang sangat menarik dari elaborasi di atas, yaitu tampaknya para pemikir Muslim kontemporer tidak berhenti pada tataran kritik, tetapi telah memikirkan secara serius aspek-aspek mana saja dari ushul al fiqh yang patut diperbarui dan bagaimana memperbaruinya.

Fenomena itu sangat menarik, karena akan memudahkan bagi para peminat ushul al fiqh untuk mengikuti, mengetahui, mempelajari, mengritik, dan bila mungkin memberikan kontribusi pemikiran pada proyek besar tersebut. Persoalannya sekarang adalah tinggal bagaimana umat Islam dapat menyikapi secara positif fenomena tersebut dengan tidak menyalahpahami dan mereduksinya sebagai upaya mendekonstruksi kemapanan Islam. Namun sebaliknya, kita perlu menganggap semua itu sebagai bagian dari dinamika Islam yang patut disyukuri dalam rangka mencari cara untuk memecahkan persoalan umat sebaik-baiknya.

Reformulasi Hukum Islam

Sejarah Indonesia telah membuktikan pergeseran dan perubahan format acara, scope dan otoritas hukum Islam. Menguatnya dua bentuk hukum, hukum adat dan hukum Islam, pada masa formatif menjadi model awal hubungan hukum di Indonesia. Hal ini kemudian bergeser menjadi penguatan dua kutub kepentingan yang berfokus pada subyek yang berbeda, yakni negara dan masyarakat. Kalau pada masa awal terjadi persaingan, disamping proses akulturatif, antara hukum adat dan hukum Islam, maka pada masa-masa berikutnya sampai pada masa Orde Baru persaingan kekuatan itu berubah menjadi persaingan antara kepentingan masyarakat untuk tetap tunduk pada otoritas teks fikih klasik yang mentradisi melawan kehendak pemerintah untuk melakukan unifikasi hukum. Persaingan ini menjadi parameter ekspresi baru yang cukup sensitif antara state dan society. Kecenderungan persaingan seperti yang terakhir ini menjadi sangat jamak di banyak negara Muslim.

Pergeseran semacam tersebut di atas, dalam konteks Indonesia, secara jelas digambarkan oleh munculnya secara berurutan teori receptio in complexu, teori receptie dan teori receptio a contrario; teori-teori yang mengindikasikan perdebatan otoritas penerapan hukum Islam. Sudah pasti bahwa penerapan teori-teori tersebut di atas mempunyai pengaruh terhadap format hukum Islam yang selalu direformulasi sesuai dengan kehendak kekuasaan.

Usaha reformulasi hukum Islam pada masa ini sangat mempunyai peluang, sedikitnya karena empat alasan. Pertama, nuansa perpolitikan yang kerap kali menjadi hambatan manifestasi ide-ide baru pembaharuan hukum tampak mulai melunak dan membuka pintu perubahan. Terjadinya krisis legitimasi di kalangan elite politik, menurut Daniel S. Lev, seringkali menjadi peluang nyata bagi munculnya reformasi atau reformulasi hukum. Kedua, menguatnya kelas menengah (middle class) yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa dan profesional. Kelas yang disebut sebagai linchpin oleh Lev dalam menjelaskan gerakan hukum ini menjadi the determining factor dalam perubahan-perubahan hukum di Eropa dan juga di Asia dan Afrika paska kolonial. Indonesia sendiri tentu bukan sebuah pengecualian. Munculnya pemikiran hukum yang cukup baru dan berani di kalangan yang kerap kali dicap sebagai tradisional serta maraknya kajian-kajian ilmiah di kalangan mahasiswa, plus demonstrasinya, merupakan salah satu qarinah bangkitnya kelas menengah ini. Ketiga, adanya semangat yang utuh untuk bergerak menuju terciptanya masyarakat madany (civil society) yang berarti pula pemberdayaan masyarakat sipil. Maka, mau tidak mau, perubahan-perubahan menuju keberpihakan terhadap masyarakat sipil menjadi suatu keniscayaan. Dan yang terakhir, munculnya sejarah baru perkembangan teori hukum yang mendukung perubahan hukum untuk kepentingan sosial di Indonesia, seperti teori sociological jurisprudence dalam hukum umum dan teori ‘urf dan maslahah dalam hukum Islam.

Terbuka lebarnya peluang untuk melakukan reformasi dan reformulasi hukum ini tentunya harus dimanfaatkan dengan melakukan sebuah pilihan bentuk reformulasi hukum yang diharapkan untuk terwujud. Tentunya, reformulasi hukum Islam yang diharapkan harus tetap mencerminkan karakter hukum Islam itu sendiri, yang bersifat elastis, adaptable dan applicable, yang bermuara pada terciptanya maqasid al-shari’ah, yakni kemaslahatan umum.

Untuk itu, maka reformulasi hukum Islam hendaknya lebih terfokus kepada kajian konteks, ketimbang kajian text. “Gugatan” terhadap dominasi teks fikih klasik yang banyak dianut secara buta sangat layak untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Yang pertama, teks fikih klasik tidak memiliki klasifikasi yang cukup rapi dan ditulis dalam style abad pertengahan, sehingga kurang mendukung efektifitas dan efisiensi administratif. Kedua, concern kajiannya lebih banyak tentang hal-hal dan isu yang tidak relevan lagi dengan kondisi umat Muslim kontemporer. Dan ketiga, adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme madzhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran-pemikiran kelompok lain.

Ketika kita berbicara tentang teks dan konteks, pelepasan konteks lama dan pengaplikasian dalam konteks yang baru, kerangka kerja interpretatif yang meliputi penggunaan teori dan pendekatan multidisipliner mutlak diperlukan, baik pendekatan dari disiplin ilmu ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Pendekatan-pendekatan seperti ini sangat jarang digunakan dalam pembuatan hukum di Indonesia, baik dalam praktek formal di Pengadilan Agama ataupun dalam praktek kemasyarakatan. Konsekuensinya adalah terciptanya gap yang begitu lebar antara what ought to be (apa yang seharusnya) dan what is (apa yang terjadi), atau antara law on the books dengan law in action yang terwujud dalam adat/ tradisi (the living law).

Dalam perkembangan terakhir, yakni munculnya KHI (kompilasi Hukum Islam), pendekatan sosiologis sudah tampak dengan jelas penggunaanya melalui pasal-pasalnya yang banyak melakukan kompromi dengan adat kebiasaan yang berlaku. Meskipun demikian, sebuah bentuk metodologi yang baku dan konsisten masih belum terlihat dalam KHI, sehingga ketidak ajegan istinbath hukum Islam kerap kali terjadi. Kerancuan metodologi hanya akan lebih banyak mewariskan kebingungan dari pada merangsang kreatifitas untuk berijtihad dan menciptakan kepastian hukum (legal necessity).

Ketidak pastian metodologi pengambilan hukum dalam KHI ini bisa jadi juga disebabkan oleh munculnya tekanan kepentingan politik yang begitu kuat, sehingga mengharuskan suatu pilihan hukum yang berbeda dengan pilihan hukum yang wajar yang akan didapat dari metodologi yang diambil secara normal.

Untuk itu, reformulasi hukum Islam mendatang mestinya membebaskan diri dari suatu keterpaksaan politik atau kekuasaan, walaupun kepentingan politik tetap menjadi suatu pertimbangan sebagaimana kepentingan sosial dan lainnya yang berada dalam konteks, dan mengarah kepada, kemaslahatan umum. Lebih dari itu, reformulasi tersebut harus berangkat dari suatu kepastian metodologi yang disepakati untuk dipakai dalam penetapan aturan-aturan formal. Metodologi istinbath hukum yang memberikan keluwesan pilihan hukum yang sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan tentu harus menjadi pilihan. Sedangkan dalam penetapan putusan hukum di lembaga fatwa, seperti MUI, atau organisasi-organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, PERSIS dan NU, dipersilahkan saja untuk menggunakan preference-nya masing-masing dalam hal penggunaan metodologi.

Tantangan dan Hambatan

Banyak pengamat hukum yang menyatakan bahwa unifikasi dan kodifikasi hukum dalam satu sisi memang menguntungkan karena ia menawarkan kepastian hukum, namun di sisi lain ia telah menjadikan hukum lamban untuk berubah, karena perubahan atau reformulasi hukum yang sudah dikodifikasikan akan memakan waktu yang sangat panjang. Pergeseran rujukan dari 13 kitab pilihan kepada KHI sebagai rujukan standard putusan PA saja telah membutuhkan waktu yang tidak kurang dari 32 tahun, termasuk pula upaya perubahan KHUP yang sampai saat ini masih terkatung-katung.

Dalam tataran pemikiran teoritisnya pun, ide-ide baru yang cukup bagus juga membutuhkan waktu yang lama untuk dipahami dan diterima oleh masyarakat. Ide Indonesiasi fikih yang dilontarkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqie pada tahun 1960-an baru mendapatkan tanggapan positif secara umum pada awal tahun 1990-an. Berikut pula ide-ide Hazairin dan Munawir Sadzali yang sempat ditanggapai secara sinis dan negatif. Kenyatan ini harus dianggap sebagai sebuah tantangan dan hambatan bagi mereka yang akan melakukan reformulasi hukum Islam.

Tantangan dan hambatan berikutnya adalah kenyataan bahwa Undang-undang dan peraturan yang ada tidak sepenuhnya efektif pemberlakuannya dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Mac Cammack tentang hukum perkawinan di Indonesia. Ketidak efektifan ini bisa dilihat dari dua sisi. Bisa jadi hal tersebut disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat akan Undang-Undang dan peraturan tersebut atau juga karena Undang-Undang dan peraturannya yang kurang bisa diterima secara sosial. Kalau kemungkinan pertama yang menjadi sebab, maka solusinya adalah pelaksanaan sosialisasi UU dan peraturan yang ada serta peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hukum. Jika kemungkinan yang kedua yang terjadi, maka perlu diadakan perombakan metodologis dalam reformulasi hukum itu sendiri.

Kekentalan penganutan terhadap teks fikih klasik di kalangan masyarakat kebanyakan bisa merupakan obstacle bagi tersosialisasinya unifikasi hukum seperti KHI, yang tidak hanya mencampur adukkan penggunaan empat madzhab yang populer, melainkan pula menggunaan pendapat di luar madzhab tersebut. Oleh karena itu, untuk mempertemukan dua kutub ini, maka sebuah reformulasi hukum sangat baik jika dimulai dengan pemasaran ide-ide dasar metodologisnya.

Hambatan dan tantangan tersebut di atas sesungguhnya hanya bersifat normatif-sosiologis yang masih bisa secara bertahap diminimalisir, sedangkan secara psikologis, selama pilihan hukumnya benar-benar berpihak kepada kemaslahatan umum, reformulasi hukum Islam tidak akan mengalami hambatan internal yang cukup berarti.

AFEKTIVITAS

Siapakan Manusia ?

Ketika kita menjadi mahluk yang hanya dapat mengenal tanpa rasa maka  kita hanya akan memantukkan dunia seperti cermin-cermin yang netral.

Bergerak/ bereksistensi merupakan salah satu dari sekian sifat dasariah manusia, dengan sifat dasariah tersebut manusia -dengan kemampuan berbahasanya- mampu menciptakan simbol-simbol (nama-nama) pada wujud atau eksistensi lain yang ada disekelilingnya. Dalam proses interaksinya dengan wujud lain manusia mampu memperoleh pengetahuan yang kemudian masuk dan menginternalisasi pada diri subjek untuk menuju kesempurnaan eksistensinya (benda-benda dapat dimanifestasikan dan orang-orang dapt dikenal). Akan tetapi seperti yang telah diterangkan pada bab terdahulu bahwa pengetahuan tidakakan tercapai ketika subjek tidak membuka diri untuk berinteraksi dengan objeknya (alam atau wujud materil yang ada), maka yang akan terjadi adalah hanya sebuah pantulan-pantulan cermin alam/dunia.

Tidak hanya dengan pengetahuan manusia dan hewan dapat dibedakan dari tumbuhan dan benda-benda mati lainnya, manusia dan hewan memiliki kelebihan yang akhirnya dapat membedakan diri secara rill dengan tumbuh-tumbuhan atau benda-benda yang tidak bergerak lainnya, dialah afektivitas sebuah kegiatan merespon sesuatu yang ada di lingkungan atau disekelilingnya, dan dengan afektivitas pula hewan dan manusia “berada” secara aktif dalam dunia dan berpartisipasi dengan segala bentuk kejadian atau fenomena yang ada.

Jika benar kehadiran manusia didunia adalah dengan pengetahuan maka dengan afektivitaslah manuasia dapat mendalami dunia dan kehidupannya tentunya afektifitas dan pengetahuan sebagai pendorong untuk bergerak dan berbuat. Maka dengan ini jelaslah bahwa sebuah pengetahuan tidak akan menjadi wujud nyata (angan-angan, utopisme) ketika afektifitas tidak ada dan hadir dalam diri manusia, dan dengan afektivitas pulalah manusia dan hewan dapat merespons setiap sesuatu yang ada dalam lingkungannya secara nyata (apakah harus didekati atau dijauhi).

Kekeyaan Dan Kompleksitas Afektivitas Manusia.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa manusia memiliki kemampuan berbahasa dan  pengetahuan, berbekal kedua hal tersebut manusia dapat membuat symbol, definisi dan mengenal segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Telah disebutkan pula bahwa manusia dengan hewan memiliki kemampuan afektivitas dimana kemampuan tersebut dapat menjadi sebuah penentu apakah objek (Dunia yang telah termanifestasi) akan direspon atau tidak (digerakan dalam sebuah wujud perbuatan), karena ketika hewan atau manusia melihat atau memperhatikan sesuatau tidak ada respon tertentu (didekati atau dijauhi).

Afektifitas bias dipula dikatakan pokok pangkal dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia, baiak bemberi sebuah petanda, nama atau yang lainnya termasuk berbicara. Dengan adanya afektivitas manusia dapat menggerakan semua organ tubuh termasuk hatinya untuk melakukan sebuah tindakan, sebagai contoh ketika kita tertarik akan sesuatu hal maka dengan bekal pengetahuan dan afektivitas manusia akan mencoba membuat sebuah tindakan, ketika ketertarikan tersebut akan bembahayakan dirinya maka dia akan menjauh dan ketika ketertarikan itu membuat dirinya nyaman maka diakan akan terus mendekat dan terus berinteraksi dengannya. Demikian pula ketika kita berbicara, dengan afektivitas kita akan membuat sebuah gerakan (baik mimik wajah, tekanan dan gerakan tubuh lainnya) yang akan mengekspresikan pengetahuan atau keinginan kita, dan biasanya kita akan berbicara pada sesuatu (orang) yang membuat kita tertarik, cocok atau merasa nyaman.

Dengan afektivitas kita didorong untuk melakukan sesuatu hal (respon), baik mengikatkan diri dari sesuatu, melepaskan diri, mendekatkan diri, atau melakukan sebuah tindakan aktif seperti menyerang,  membela diri, bertempur dan sebagainya. Sampai pada titik ini kita memahami bagaimana kompleksitas afektivitas manusia atau bias dikatakan masih rancu atau abstrak karma sampai saat ini kita belum mengetahui yang mana sebenarnya kegiatan afektiv dari manusia itu sendiri, apakah semua kegiatan yang diakibatkan dari sebuah respon tertentu atau hanya kegiatan-kegiatan tertentu saja yang dapat diseput kegiatan afektiv ?

Untuk memperjelas masalah ini, terlebih dahulu kita harus meneliti dan menganalisa afektivitas dari berbagai sudut pandang yang ada dan berbeda-beda.

Disposisi Afektif Dasariah. Dari sedut pandang ini afektifitas dipandang dari dua segi/sudut dasariah atau berputar pada dua kutub bertentangan. Berawal dari sebuah respon terhadap sesuatu maka subjek (manusia) akan mencoba mendekati sesuatu ketika hal tersebut dianggap baik olehnya dan dia akan menjauhinya ketia itu dianggap jelek, jahat atau sesuatu yang akan merintanginya. Secara sepintas kedua afektivitas tersebut terkesan sebagi afektivitas dasar, padahal kalau kita perhatikan, katakanlah kegiatan mendekati, menyukai adadah mencintai dan menjauhi sesuatu, merintangi adalah membenci, maka akan menjadi jelas bahwa cintalah sebagai kegiatan afektif dasariah karena ketika sesuatu dipandang akan menjauhkan atau merintangi maka sebenarnya hal tersebut adalah sebuah penghalang bagi sesuatu yang kita cintai (menggapai, mendekati atau memilikinya). Jadi pada hakikatnya cita merupakan berada atau asal mula dari seluruh hidup/kegiatan afektif, sekurang-kurangnya cinta akan diri sendiri.

Sikap-sikap. Berangkat dari hal pertama diatas (cinta dan benci) akan melahirkan sebuah Anggapan atau kecenderungan dan Maksud  dari si subjek dalam berhubungan dengan objeknya. Ketika subjek menganggap objeknya jahat (berdasar karna jahat bukan sifat dasar afektif) maka akan melahirkan satu konsekuensi yakni, kebencian yang merakibat menjauhi atau malah melawan, menyarang atau menghilangkannya. Berbeda halnya dengan cinta sebagi sifat dasar afektif, dia akan menimbulkan 2 konsekuensi (sikap) yakni mendekati, memiliki dan interaksi kemudian ketika objek tersebut dianggap jahat atau buruk dia akan tetap berusaha untuk mendekati atau berinteraksi karena nilai, manfaat, keuntungan (yang ada pada objek) baik bagi untuk umum atau pribadi. Dalam kasus membenci, menjauhi atau menghilangkan berlaku sikap cinta diri sendiri (cinta utilitaris) dan pada kasus yang yang kedua yakni mendekati karena ada sebab –nilai, manfaat serta lainnya- disebut cinta kebaikan hati, tanpa pamrih (amour de bienveillance, amour desintresse, amour oblatife). Secara singkat dapat dikatakan cinta Utilitaris bersifat bermanfaat atau mementingkan diri sendiri/egois sedangkan cinta tanpa pamrih si objek akan tetap melakukan yang terbaik demi keutuhan nilai itu sendiri atau manfaat khalayak (apresiasi).

Penetuan sikap afektif subjek oleh objek. Subjek dalam merespon objeknya menampilkan sebuah suasana yang disebut perasaan, perasaan  merupakan disposisi afektif yang stabil yang tidak mengganggu keseimbangan psikologis subjek. Yang menjadi permasalahan disini adalah emosi, emosi merupakan kegiatan afektif yang mendadak dan kuat, yang disertai dengan gangguan organik (penyulut) dan dapat mengubah kelakuan subjek secara drastis. Emosi dapat menjadi sumber kekuatan, ketegasan, inisiatif kreativitas pada diri subjek ketika subjek dapat menguasai perasaannya, dilain pihak emosi juga dapat menjadi sumber bencana, memalukan dan merugikan ketika perasaan tersebut tidak dapat dikendalikan yang akhirnya membabi buta hal ini dapat diantisipasi dengan pengetahuan atau penguasaan diri (akal sehat).

Penguasaan subjek terhadap objek. Masih dalam kerangka cinta dan benci (beserta rekan-rekannya atau sesuatu yang mendekati), subjek dalam hal merepons kedua hal tersebut dapat mengakibatkan kemungkinan-kemungkinan sikap afektif. Dalam hal mencintai atau menginginkan sesuatu hal maka dalam jangka waktu tertentu subjek akan mengalami sebuah usaha (waktu), dalam usaha tersebut  subjek akan mengalami sebuah harapan-harapan akan kesenangan dan kegembiraan, keputusasaan dan sebagainya. Demikian juga dengan kebenciaan, subjek akan mengalami keresahan, kecurigaan, ketakutan, kemarahan bahkan semangat yang berkobar.

Hasrat-hasrat jiwa demikianlah para filosof terdahulu mengatakan keadaan-keadaan afektif yang telah dipaparkan diatas. St Aquinas dalam buku Summa teologica bagian kedua, Decrates dalam buku Urayan tentang nafsu-nafsu, Spinoza dalam buku Etika. Para filosof yang disebutkan diatas sangat konsen membahas mengenai kegiatan afektif, secara garis besar nafsu dapat di kelompikan menjadi 2 ; pertama, nafsu yang cenderung mengikat pada hal-hal yang baik (nafsu hasrat), kedua, nafsu yang mempersiapkan  untuk bertempur atas apa yang melawannya. Alferd Adler menyebut nafsu bertempur ini sebagai “Dorongan untuk berkuasa” sedangkan nafsu yang cenderung mengikat pada kebaikan disebut oleh Etienne de Greef sebagai “Naluri-naluri Simpati”.

Lebih mendasar lagi sebuah kegiatan afektif sangat dipengaruhi oleh yang namanya suasana hati. Suasana hati dapat sangat berkaitan erat dengan kondisi biologis yakni ketika kegiatan biologis dapat terlaksana dengan baik maka akan membawa suasana yang menyenangkan dan ketika kegiatannya terbengkalai maka keresahan, tidak percaya diri dan sebagainya akan mempengaruhi suasana hati tersebut. Singkatnya afektivitas sangat di dasari oleh keadaan organik dan psikologis (tubuh dan roh).

Yang bukan perbuatan Afektif

Mengetahui adalah penerimaan, partisipasi dan komunikasi, demikin pula halnya dengan cinta orang sering menganggap pahwa cintalah cara mengetahui atau mengenal secara istimewa yakni berusaha untuk mengerti dan memahami. Dari kedua pandangan diatsa terkadang orang suka mengacaukan antara yang poko dan yang pangkal miasalnya saja ketika seseorang mengetahui tentang sesuatu hal maka dia dapat mengerjakannya atau mengaktualisasikannya kedalam wujud yang nyata karena dapat kita amati bahwa seorang teolog bulum pasti dia mengerjakan apa yang ada pada teologi, seorang psikolog belum tentu keadaan jiwanya selalu stabil dan seimbang dan seorang yang mengerti tentang kebenaran, keadilan dan cinta dia dapat mengaktualisasikan dalam wujud afektif.

Pengetahuan dengan cinta, seperti yang dikatakan diats sering terjadi kekacauan, demikian pula halnya dengan cinta itu sendiri, orang sering mengatakan perbuatan-perbuatan yang menuju pada cinta dikatakan cinta. Padahala cinta itu sendiri telah mendahului perbutan-perbuatan. Dilam proses mencintai itu sendiri banyak timbul kegiatan afektif miasalnya rasa cemburu, keresahan, kekesalam, pengharapan padahal yang esesnsi dari cinta iru sendiri adalah pengorbanan, keikhlasan hati, persuaian, kecocokan dan kerelaan. Dalam hal ini orang sering terjebak ketika dia banyak mengusahakan untuk memiliki sesuatu (cinta) akan tetapi dia malah terjebak pada tujuan-tujuan yang bukan cinta itu sendiri, maka lahirlah kekecewaan dan kesengsaraan.

Dalam afektivitas sering terjadi kesahpahaman, yakni hanya merujuk pada hasrat baik saja, padahal afektivitas itu sendiri setiap perubahan dari kesan yang ditangkap baik itu kebaikan atau keburukan entah dalam hal fisik atau psikologis tergantung pada keadaan yang ada disekitarnya, jadi afektifitas melingkupi semu kegiatan afektif. Afektifitas melingkupi semu kegiatan afektif yang berdasar pada kegiatan naluriah, pisik, psikis, spiritual dan lain sebagainya sejauh itu merupakan respon terhadap objek.

Perbuatan afektif

Perbuatan atau kegiatan afektif harus dipahami sebagai segala pergerakan atau kegiatan batin yang ditarik oleh objek (menolak atau mendekatinya). Perbuatan afektif sedikit mirip dengan perbuatan mengenal karena mengenal juga merupakan sebuah tindakan vital/imanen, dalam hal ini subjek menjadi aktor utama dalam memberikan sebuah respon atau menerimanya. Perbuatan afektif juga dapat dikatakan berbuatan intensional dimana si subjek membuka dirinya dan dihubingkan dengan objek.

Dari penjelasan diatas masih terlihat samara mana yang pengetahuan dan mana yang afektivitas, dan sekarang kita akan mencoba membedkan keduanya; sedikitnya ada 5 yang membedakan pengetahuan dengan afektivitas: pertama, dalam pengetahuan si subjek membuka diri terhadap objek sedangkan afektif lebih bertindak pasif yakni subjek hanya menerima pengaruh dari objek apakah objeknya menarik atau menolak. Kedua, sejauh subjek di pengarhi oleh objek  secara intensif maka perbuatan afektif bias disebut lebih ekstatis ( dibawa keluar dari dirinya seolah-olah dilepaskan dari objeknya) dari perbuatan mengenal. Ketiga, perbuatan afektif dipandang lebih paradoksal dan dimamis dimana  perbuatan tersebut mempersiapkan dan mendirong dirinya untuk bergerak. Keempat, perbuatan afektif terlihat lebih realistis karena subjek lebih berhubungan apa yang nyata dan langsung terhadap objeknya, meskipun pada akhirnya subjek akan mengalami ekstatis. Kelima, perbuatan afektif lebih bersikap partisipasi dan kesatuan, dimana subjek dapat menglami dan berhubungan langsung dengan respond dan pengaruh yang ditimbulkan objek.

Kondisi-kondisi Afektivitas manusia

Untuk mencapai afektivitas subjek harus berada dalam sebuah kondisi dimana subjek akan melahirkan kegiatan afektif, adapun kondisi-kondisi tersebut ialah : pertama, antara subjek dan objek harus ada ikatan kesamaan atau kesatuan itu sendiri, karena ketika tidak ada kesamaan maka tidak akan ada afektivitas. Sebagai contoh ketika kita berhubungan dengan sebuah objek maka dalam diri objek terdapat sesuatu yang membuat kita tertarik atau menjauhinya, sesuatau yang ada pada diri objek pasti juga ada dalam diri subjek yang akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif baik menerima atau menolak.

Kedua, nilai (baik dan buruk), dalam kondisi ini, ketika objek dipandang memiliki sebuah nilai maka subjek akan melahirkan kegiatan afektif, karena afektifitas itu sendiri adalah berdasar pada kecintaan akan sesuatu maka subjek pada akhirnya akan melahirkan kegiatan afektif untuk menolak atau menerima.

Ketiga, sifat dasariah dan kecenderungan kognitif, pada kondisi ini subjek akan dalam melakukan sebuah afektif harus ditunjang dengan sebuah sifat dasariah yang akan mendorong dia untuk lebih cenderung, selera, berkeinginan akan sesuatu yang pada akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif yang ternyata memang sesuai dengan sifat dasarih tersebut.

Keempat, mengenal adalah kausa dari afektivitas. Dalam proses mengenal subjek akan mengalami kondisi dimana dia harus berusaha mendefinisikan objek yang akan dikenalinya dan ketika definisi tentang objek tersebut telah tercapai maka pada akhirnya akan lahir sebuh keputusan afektif apakah dia harus menyerang, mencintai, memp[ertahankan diri atau yang lainnya.

Kelima, imajinasi. Untuk menimbulkan kegiatan afektif maka imajinasi dapat menjadi sebuah pendorong, semangat, mempengaruhi bahkan membohongi. Pengetahuan pertama (baik dari pengalaman atau informasi dari pengenalan) akan melahirkan sebuah deskripsi awal tentang objek, maka dalam kondisi ini subjek akan dipengaruhi untuk bertindang seperti apa yang ia dapat pada penglaman-pengalaman dan imajinasi yang dia dapatkan terdahulu.

Dari penjelasan-penjelasan diatas jelaslah bahwa perbuatan afektif tidak cukup subjek mengenal objek, menggunakannya dan menarik perhatiannya akan tetapi secara fundamental ia disipkan oleh keadaan dan kondisi itu sendiri yang menyebabkannya.

Pada penjelasan terdahulu telah di sebutkan bahwa kegiatan afektif harus ada peran roh/jiwa atau psikis. Dalam hal keinginan akan sesuatu yang akhirnya menimbulkan perbuatan afektif disana sangat berperan apa yang namanya cinta, kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan (beserta lawan-lawannya). Keinginan-keinginan tersebut akan membawa subjek pada kegiatan afektif yang bersifat eksistensial (materialis) yang pada akhirnya berakibat pemenuhan dan pemilikan akan sesuatu, dalam hal tersebut harus dicurigai bahwa kesenangan tersebut memperhatikan nilai yang ada atau sebuah kecintaan pribadi yang akhirnya menegasikan yang lain. Maka kebahagiaan sebagai sikap dasariah afektif menegaskan bahwa roh harus dadir disana dan bahwa kebahagiaan tidak berarti mengambil atau memiliki akan tetapi partisipasi dan intensionalitas dengan objeklah yang akhirnya akan menjadi kebahagiaan.

Dalam hal mencintai terkadang tidak terasa ada sebuh hirarki yang akhirnya menjadi sebuah prioritas atau menegasikan yang lainnya, contoh; ketika kita mencintai diri sendiri, kemudian mencintai orang lain yang mana yang akan menjadi sebuah prioritas ? (yang akan melahirkan perbuatan afektif). Hirarki yang takterdefinisi tersebut sebenarnya tidak perlu ada kata prioritas atau menegasi yang lainnya, karena dalam hal mencintai –seperti yang telah ditegaskan pada penjelasan sebelumnya- lebih mengungkapkan perbuatan afektif yang bersifat partisipasi, kesatuan dan penggabungan. Jadi jelaslah bahwa ketika kita dapat mencintai diri sendiri maka akan secara otomatis dia akan mencintai oranglain karena dia telah mengerti hakikat diri dan jiwa dari “keberadaannya dalam dunia”.

Psikologi Agama

Manfaat Psikologi Agama

Psikologi Agama, secara personal jelas memberikan sedikit banyak manfaat dalam kehidupan, apalagi seara hubungan social, saya (sebagai manusia) harus banyak berinteraksi dengan berbagai kalangan, kalangan elitis birokrasi, pertemanan, keluarga dan hubungan social lainnya, apalagi ketika menyangkut dengan posisi (status) diri di lingkungan social (di paramadina sebagai Wakil Presiden Mahasiswa).

Manusia penuh dengan keterbatasan, baik diri sebagai kebertubuhan (yang dibatasi oleh indra), dan Akal, yang ternyata terbatas secara konseptual. Hal tersebut membuat saya menyadari bahwa manusia memang syarat dengan keterbatas, sehingga untuk mengantisipasi dan jalan keluar akhir dari segala problematika kehidupan yang ada, maka saya (manusia dengan berbagai predikat yang melekat) membutuhkan sebuah pegangan atau perlindungan yang menjadi jalan keluar atas segala keterbatasannya (Realitas tertinggi/ Tuhan).

Prilaku Menympang Menurut Psikologi Agama

Secara personal Konsep prilaku penyimpangan tidak lagi menjadi sebuah predikat (menyimpang), ketena hal tersebut dilihat dengan dan dari berbagai sudut pandang, misalnya seseorang tidak melaksanakan solat. Konsep dari pelaksanaan solat itu sendiri, ketika dilihat dari hukum “Syariah” bisa dikatakan penyimpangan akan tetapi ketika dilihat dari sudut pandang keilmuan lain, prilaku tersebut belum tentu dikatakan menyimpang.

Kalau dikaitkan dengan Psikologi agama secara personal saya memiliki penyimpangan, penyimpangan yang mungkin dipandang telah keruar dari jalur keislaman. Sebagai salah satu contoh : ketika prilaku ibadah (yang telah diwajibkan dalam al-Quran, baik sholat, Shaum ibadah dan haji ) tidak dipraktekan dalam rutinitas sehari-hari.

Menurut sudut pandang saya (personal) perilaku ibadah hanya disandarkan kepada bersar kecilnya pahala, atau ingin masuk surga dan takut terhadap neraka maka ibadah itu sendiri menurut saya akan turun derajatnya (secara konsep pemahaman keagamaan an sich), meskipun hal tersebut sedikit bertentangan dengan doktrin keagamaan yang saya dapatkan dari sejak Madrasah intidaiyah (SD) sampai tingkan Mu’allimien (SMA).

Menurut pandangan saya, ibadah tidak lagi dipahami sebagai ritus gerakan indra, pandangan ini bukan berarti bahwa ritus gerakan inda dipandang  tidak penting atau tidak ada gunanya, bahkan ketika kita gali setiap gerakan dalam ibadah itu sendiri mempunyai arti yang lebih luas, baik secara eksplisit maupun implicit. Ibadah dapat diartikan sesuai dengan pemahaman personal, karena sudah jelas, bahwa Tuhan akan memposisikan dirinya (mendeskipsikan dirinya) sesuai dengan deskripsi hambanya, dan disanalah letak ke Rahmanan kan kerahiman Tuhan serta keuniversalan islam (Rahmatan lil alamien). Inilah posisi dimana Aspek Agama sebagai posisi Spirit dengan berbagai ibadahnya menyentuh aspek personal dan social. Pluralisme inilah penengah dari segala bentuk perbedaan pemahaman, baik Pemahaman secara personal maupun secara kolosal (institusi keagamaan yang mempunyai umat masing-masing).

Argumen Para PSikolog Agama

“Orang-Orang Beragama Mengalami Sakit Jiwa”

Prilaku Ornag beragama Menyimpang = Orang Beragama Mengalami Penyaikit jiwa, Demilianlah tesis para Psikolog agama mengenai prilaku orang beragama yang didefinisikan sebagai penyait jiwa.

Pernyataan tersebut secara personal saya tidak dapat mengatakan dukungan secara sepihak (benar atau tidak). Ketika saya memandang dari sudut kajian Psikologi agama Pernyataan tersebut dapat dikatakan benar, melihat latar belakang para psikolog agama yang nota bene beraliran empirisisme atau memakai piasu anasisa empiris. Akan tetapi ketikan saya melihat dari sudut pandang orang beragama, itu bisa dikatakan salah, dengan latar belakang doktrin keagamaan (doktrin idiologis dan psikologis) yang terus ditatamkan sejak dini. Agama sebagai sebuah tuntunan hidup (acuan) telah tertanam dan itulah keimanan, dan yang namanya keimanan adalah sesuatu yang bersifat psikologis atas kesadaran bahwa manusia syarat dengan kekurangan dan kelemahan sehingga dia membutuhkan sesuatu yang “MAHA” sebagai pegangan dan penolong dan petunjuk hidup.

Menut saya pribadi, saya tidak mendukung keduanya (baik para psikolog ataupun para pegiat agama). Saya berpendapat bahwa aspek keagamaan adalah aspek spiritual, dimana ruang bawah dasadar dan ruang kesadaran bertemu, sehingga spiritual menjadi jalan tengah atas problematika pemahaman antar agama dan agama dengan non-agama.

Jadi secara singkat saya mengatakan spiritual bukanlah permasalahan antara agama dan non agama.

Benar Adanya

Di teras yang sama aku berdiri

Menunggu datangnya sebuah isyarat

Dimanakah pesan itu tersembunyi? Aku tidak dapat menangkapnya.

 

Mataku tak henti berdelik

Otakku tak henti berdialektik

Aku senantiasa menjaga kesadaranku

Walau mereka tak henti menghardikku

 

Aku pikir ini hanya sekedar ulasan

Sama seperti halnya tahun lalu

Tak ada tendensi apapun akan hal itu

Namun aku tetap saja menunggu meski itu ragu.

 

Aku hampir saja terlempar di hempas fatamorgana yang terus menyelimuti hati

Tapi aku tetap meyakinkan diriku kalu pesan itu benar adanya

Sebab angin tak pernah berbohong

Dan air takkan pernah ingkari janjinya

Apalagi tanah yang senantiasa setia meski terinjak,

 

Aku semakin tenang ketika sesosok keindahan menghampiri dan mememelukku dengan erat,,

Lantas Ia berkata “janganlah takut dan jangan bersedih, sesungguhnya ia benar adanya, ketika kebenaran itu ada, maka benarlah adanya, dan bersiaplah untuk menyambut kedatangannya”

 

Aku hanya terdiam, Hatiku terkunci, dan bumipun terhenti

Tak ada dealektika, tak ada retorika

“mengalirlah sepertihalnya air yang turun dari pegunungan menuju lautan”

Demikianlah pesan itu datang padaku

 

Tak enyah aku terhempas kedalam kesadaran

Ya, dia akan datang dan tidak akan berbohong,

Dalam mimpi aku dibaringkan, dalam kesadaran aku disiapkan

Kicauan burung, sorak para perajurit, dan deru ombak seketia meng-Ada

Dengan seketika aku berada diatas tanah yang subur adanya,

aku hanya tertegun lalu bergumam

“Inilah pesan itu, ia datang dengan kemenangan

Puji pada realitas tertinggi, karena ia benar adanya”

Tapi, satu lagi yang aku minta

“tolong  bekali aku dengan cahaya, karena ia akan membawaku kepada kesaksian”

Kata-ku

Salam Damai dan salam kesejahteraan.

Harus kita ingat, bahwa bangsa ini berdiri diatas tanah kuburan para prjuang, bangsa ini berdiri diatas cucuran darah, serakan tulang belulang dan curahan peluh para pejuang. Bangsa ini harus membayar mahal akan kemerdekaannya, bukan dengan pounsterling, bukan yen, bukan dengan dolar dan bukan dengan rupiah, tapi bangsa ini ada dengan mengorbankan ratusa, ribuan, jutaan bahkan triliunan nyawa para pahlawan.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang dianugrahi kekayaan alam yang melimpahruah, bangsa yang dianugerahi kekayaan budaya yang beranekaragam suku bangsa. Akan tetapi bangsa Indonesia juga kaya akan berbagaimacam krisis, dari mulai krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis akan kesejahteraan, krisis akan keadilan, krisis akan kepercayaan KKN, Agama, suku, budaya, pendidikan sampai krisis akan identitas. Krisis multidimensional ini semakin menggelembung sehingga menimbulkan krisis-krisis baru yang sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda kapan akan berakhir, maka diperlukan kekuatan besar dan tangguh untuk mengatasi krisis multidimensional ini.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai sejarahnya, akan tetapi kita tidakperlu tenggelam dalam angan-angan sejarah, kita tidakperlu terhanyut dalam candu romantisme. Sudah Enam puluh satu tahun bangsa indonesia menghirup udara segar kemerdekaan, sudah enam puluh satu tahun pula bangsa ini tetap terhimpit dan berada dilingkaran kemiskinan, lantas apa yang telah kita perbuat untuk bangsa ini ? apa dedikasi kita yang telah kita sumbangkan untuk bangsa ini ? apakah kita akan tinggal diam ? apakah kita akan terus diam ketika harkat dan martabat bangsa kita diinjak-injak oleh bangsa lain ? katakan tidak ! kita harus bangkit, kita harus bersatu dan kita harus menjadi bangsa yang bermartabat. Kita harus menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dari segala macam bentuk penjajahan, termasuk penjajhan atas harga diri.

Bung Karno sebagai founding father bangsa ini  menegaskan akan pentingnya menyatukan kekuatan bangsa, beliau mengatakan “kita harus meningkatkan seluruh elemen kekuatan bangsa” kemudian perkataan tersebut disambut oleh guru besar bangsa yaitu Prof Dr. Nurcholish Madjid beliau mengatakan “Kekuatan akan terbentuk dan terwujud hanya dengan adanya peneguhan kembali ikatan batin semua warga Negara indonesia kepada cita-cita nasional, tidak cukup dengan itu, komitment harus disertai dengan peneguhan tekad bersama untuk melaksanakannya”. Lantas apa yang yang dimaksud dengan cita-cita nasional ? cita-cita nasional adalah cita-cita pensejahteraan dan penyempurnaan kondisi masyarakat indonesia dari mulai peningkatan kualitas pendidikan, perataan ekonomi berbasis kerakyatan, peningkatan pertahanan dan keamanan bangsa.

Akan tetapi bagaimana cara untuk mewujudkan cita-cita nasional tersebut? caranya adalah, hapus atavisme, hapus nativisme, hapus individualisme, hapus ekslusifisme, hapus dehumanisme, hapus feodalisme dan hapus segala bentuk sadisme dan premanisme. Kita harus berani menunda kesenangan pribadi untuk mewujudkan kepentingan sosial kemudian kita mulai masuk kedalam lingkaran heterogenitas, kita harus masuk kedalam lingkaran pluralisme dan kemudian kita mulai merajut kembali pranata-pranata Demokrasi yang sudah mulai pudar, kita harus kembali kepada pancasila sebagai dasar negara kita, dimana semua elemen masyarakat yang plural itu dapat bersatu dan mengecap indahnya harmony, kedamaian dan kesejahteraan.

Kita tidak perlu pesimis dengan keadaan kita sekarang ini. Ingat idealisme bukan berarti utopisme tapi idealisme adalah cita-cita yang pada nantinya akan diwujudkan oleh anak cucu kita dan generasi penerus bangsa. “Bangunlah putra-putri pertiwi, tunjukan pada Dunia Bahwa Sebenarnya Kita MAMPU !!!”.

Didalam gelap yang pekat, Masih ada secercah harap untuk semangat yang berkobar dan bangkit untuk berjuang !!!

Orasi,

Jakarta, Gedung Juang

Paul Ricoeur

Filsafat pada hakikatnya adalah merupakan sebuah metode bagaimana seseorang mengenal akan hakikat tentang dirinya, dimana mengenal tentang diri, dan tau konkonsep serta arahnya maka kita akan mengerti bagaimana sebenarnya filsafat berguna dalam kehidupan nyata. Filsafat tidak memberikan sebuah metode yang bersifat tradisional, melaikan metode dialektes yang memaksa kesadaran kita untuk hadir dalam memahami akan diri dan realitas.

Realitas merupakan aspek real dalam kehidupan, dan tidak ada lagi yang rebih real kecuali diri mengenal akan dirinya sendiri dengan cara berfikir tentang dirinya – kogito ergo sum – ( Decrates ). Lain dengan itu, sebagian tradisi filsafat berkeyakinan bahwa sebuah realitas merupakan sebuah totalitas historical[1] (Hegel) dimana sebuah realitas memmpunyai sebuah hubungan interpersonal dengan apa yang ada diluar dirinya, baik itu situasi dan kondisi yang berlaku pada saat itu baik yang bersifat meteril (social, ekonomi& politik) maupun metafisik (psikologis, kesadaran, akal budi, atau intelek). Di lain pihak ada sebuah aliran yang hamper senada dengan yang disebuatkan sebelumnya, ia adalah fenomenologi. Mereka menamakan dirinya alairan fenomenologi. Alairan tersebuat menamakan dirinya demikian karena pemahaman yang mereka bangun adalah pemahaman yang berangkat dari kesadaran yang setiap saat bisa berhadapan dengan dalam kondisi atau fenomena yang melahirkan sebuah interpretasi. Ketika seseorang telah melakukan interpretasi maka dia memandang sesuatu tidak bersifat netral dan natural. Ada keberpihakan pada kondisi tersebut, dimana interpretasi yang dia lakukan merupakan interpretasi yang berdasar akan kepentingan logika. Kaum fhenomenologis memaknai akan fenomena adalah sebuah kondisi yang benar-benar baru kita alami, tentunya dengan kesadaran yang penuh akan diri. Fenomena tersebut berada tidak ada jauh dimana-mana tidak ada di disamping atau didepan, melainkan berada didepan kita sendiri. Mengapa demikian, karena ketika kita menempatkan diri kita sebagi sesuatu yang aktus akan keberadaan yang lain, maka kita akan dapat menilai sesuatu degan objektif tanpa ada campur tangan apapun, tanpa interpretasi yang didominasi oleh kepentingan logika. Berangkat dari hal tersebut maka kaum fhenomenologis berkeyakinan bahwa sebuah fenomen merupakan sebuah simbaol yang harus ditafsirkan dan dikuak makna dan maksudnya. Ketika kita hendak menguak makna tersebut, maka kita harus berada dalam posisi baru dan memandang secara total dengan intensonalitas yang melahirkan interpretasi yang benar-benar hadir dari rahim interpretasi kesadaran yang total.

Salah satu filosof yang pada awalnya beraliran eksistensialis adalah Paul Risoeur merupakan salah seorang tokoh filsafat yang meneruskan proyek fhenomenologi, akan tertapi pendekatan yang dia lakukan adalah pendekatan secara structural. Risoeur dalam merumuskan proyek fhenomenologinya tidak lrpas dari pengaruh Dhiltel yang kemudian direvisinya engan konsepnya tentang teks, Husserl disebut juga bapa fhenomenologi, Heidegger, dan Gadamer. Tokoh terakhir inilah yang sebenarnya tokoh yang sangat berpengaruh bagi Risoeur, sehingga konsep yang kemudian di tawarkan atau dia kemukakan adalah merupakan penjabaran secara mendetil dan praksis untuk filsafatnya Gadamer.

 

Riwayat Hidup

Paul Risoeur adalah seorang filsuf ternama yang hidup pada awal abad 19. dia dilahirkan di Valence, Paris Selatan, pada tanggal 27 Pebruari 1913[2]. Risoeur berasal dan besar dilingkungan Kristen Protestan yang saleh, yang terkenal sebagai seorang cendikia protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes sebagai seorang anak yantim piatu. Di Lycee risoeur untuk pertama kalinya berkenalan dengan filsafat melalui R dalbiez yang mengapresiasi alairan pemikiran Thomistis.  selain karya-karyanya yang monumental, Ricoeur juga mengajar diberbagai perguruan tinggi di Perancis, dan dia memperoleh Licence de philosophie pada tahun 1933 dan aggregation de philosophie pada tahun 1935 di Sorbonne.

Selain kegiatan belajar mengajar dia juga seorang aktifis diberbagai lembaga akademis yang digelutinya, dan dia juga pernah mendapatkan penghargaan dari Hegel Award (Stuttgart), The Karl Jaspers Award (Heidegger),dan The Grand Prix de L’Academie u francais. Selain pertasi tersebut Risoeur juga pernah menjadi editor pada beberapa Jurnal dan Majalah Filsafat. Setelah mengajar di Colmar selama satu tahun dia dipanggil oleh Negara untuk wajib militer (antara 1937 – 1939). Pada saat mobilisasi, Risoeur masuk kedalam ketentaraan prancis dan menjadi tawanan perang hingga tanhun 1945. selama dia menringkuk di tahanan di Jerman, ia banyak mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers. Dan setelah perang ia kembali mengajar dan menjadi dosen filsafat di College Cevinol, yang merupakan pusat protestan international untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambonsur-Lignon[3].

 

Latar brlakang pemikiran

“Hidup adalah interpretasi” demikianlah Nietzsche berkata. Bertolak dari kata tersebut Risoeur mengafirmasi dan mengatakan bahwa “filsafat itu adalah interpretasi dari interpretasi”[4], dengan kata yang diungkapkan oleh Risoeur tersebut ada dugaan bahwa arah pemikiran filsafatnya terarah kepada Hermeneutika –jika interpretasi merupakan bagian dari Hermeneutik-.  Risoeur berpendapat bahwa filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutic, yakni kupasan terhadap makna yang terselubung dalam teks yang terlihat mengandung sebuah makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membuka makna yang terkandung dari lipatan-lipatan teks.

Teks, kata-kata atau makna-makna merupakan sebuah symbol yang  terkadang dianggap tidak begitu penting karma sifatnya tidak langsung sebab hal tersebut tidak dapat di dimengerti oleh yang lain kecuali dengan dirinya.  Jadi apa yang ingin di ungkapkan oleh Risoeur adalah interpretadi merupakan jalan menuju filsafat refleksi yang berdasarkan pada asumsi baha dengan dengan mengikuti petunjuk pikiran yang bersifat simbolik seseorang akan sampai pada pemahaman tentang Being yang lebih mendalam, senada dengan kata tersebut yseng disebutkan oleh tradisi sokrstes adalah “kenalilah dirinu sendiri” karma diri = symbol[5].  

Dengan konsep yang risoeur ungkapkan diatas, tampaknya dia ingin mengatakan bahwa ada kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata, dan kebutuhan laten tersebut merupakan kebutuhan akan hermeneutic. Dalam konsep ini risoeur sependapat dengan gadamer yang mengtakan bahwa filsafat merupakan rumah dari bahasa dan sekaligus juga mengafirmasi konsep kebutuhan laten akan bahasa yaitu kebutuhan Laten Dassein[6]. Tidak hanya sampai disitu saja, ternyata Risoeur berpikiran jauh lag akan hal itu, sehingga dia berkat bahwa setiap kata adalah sebuah symbol. Sebagaimana bahasa yang digunakan oleh para sastrawan bahwa bahasa atau kata-kata yang digunakan oleh mereka mengandung banyak makna dan banyak maksud-maksud yang terlebubung dalam lipatan kata. Karna sangatlah wajar ia mengatakan bahwa ada belati dibalik jaket, atau ada hadiah yang menyenangkat di balik jaket. Dengan adanya interpretasi maka symbol akan menjadi kaya akan makna –multitafsir- dengan tidak mengurangi bahasa dan makna yang terkandung didalamnya sehingga symbol tersebut melampauinya atau kembali menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian maka benarlah bahwa makan atau sesuatu tidak terletak di samping atau di belakangnya, akan tetapi berada tepat didepannya.

 

Kata dan Makna

Sebuah kata adalah sebuah symbol demikianlah singkatnya dari uraian diatas, sehingga kita tidak memiliki interpretasi bahwa sebuah bahasa atau symbol ini merupakan sebuah konsep yang jelimet yang harus didudun dalam otak yang kaku.  Bahasa dengan symbol keduanya memiliki sebuah unsure untuk menghadirkan sesuatu yang lain pada atau diluar dirinya. Oleh sebab itu kata pada dasarnya adalah bersifat konpensional dan tidak membawa makna sendiri secara langsung secara sendiri dan langsung pada si pendengar atau pembaca, secara tidak langsung seseorang yang menulis sebuah tulisan atau yang berbicara itu membentuk sebuah bentuk pola-pola makna yang tidak disadari, dan pola tersebut menggambarkan sebuah konteks sejarak dan kehidupan oaring tersebut sehingga menimbulkan sebuah interpretasi yang tidak mungkin dielakan lagi. Akan tetapi ketika kata trsebuat di letakkan dengan konteksnya dengan kondisi yang telah di setting ataupun tidak itu akan melahirkan sebuah gambaran awal untuk pengenalan tentang sesuatu. Maka dalam hal ini kata-kata memiliki ragam makna yang terselubung didalamnya sehingga ketika kata tersebut meluncur menjadi sebuah kata maka ini akan menjadi dirinya dan gambaran akan sesuatu hal tentang dirinya dan pada saat itu juga ia akan menjadi sebuah wacana. Wacana dapat menjadi self reference dan self reference bisa menjadi wacana karena ketika kata sudah terucap maka itu telah menjadi peristiwa atau fenomen. Ketika wacana telah menjadi fenomen maka disana terdapat tujuan psikologis, tujuan psikologis tidak akan ditemukan dimanapun kecuali pada diri wacana itu sendiri[7].

Dalam pernyataan-pernyataan yang bersifat psikologis, sebenarnya dia ingin mempertahankan klaim bahwa “Psikoanalisis adalah tipe Hermeneutik”, oleh sebab itu Risoeur menambahkan bahwa dalam sebuah wacana yang timbul menjadi sebuah peristiwa maka haltersebut tidak akan terlepas dari kepentingan ego atau dipengaruhi oleh suasana psikologis pada saat itu “Semantic of desire, Arti keinginan”[8].

Senada dengan gadamer bahwa ada sesuatu dibalik jaket yang dia kenakan, atau bahkan dia adalah penipu-ulung[9]. Risoeur mengatakan bahwa Hermeneutik harus berarah kepada “perjuangan melawan distansi cultural”, apa itu distansi cultural ? ialah bahwa si penafsir harus mengambil jarak supaya ia memiliki interpretasi dengan baik atau ketika dia mengambil jarak maka ia akan dapat mengkritik dengan baik[10], atau dalam pribahasa kita mengatakan bahwa gajah di pelupuk mata tidaklah kelihatan, akan tetapi bintang yang ada dilangin walaupu kecil sekalipun dapat sangat terlihat jelas. Dalam hal ini sebenarna para sastrawan kita dahulu telah membuat konsep filsafat tersendiri dimana ketika di selaraskan dengan konsep ini maka ketita sesuatu yang besar yang berada di dekat dengan kita atau menginternal dengan kita maka kita tidak akan mampu membuat interpretasi dan mengkritiknya dengan baik.

Dalam hal ini juga Risoeur mengafirmasi konsep yang diungkapkan oleh Heidegger, bahwa sebuah teks, fenomen, peristiwa, tradisi dan sejarah memiliki beberapa konsep tentang pemahaman, dengan meminjam kata dari gadamer bahwa seorang yang hendak bekerja tidak akan mungkin kerja dengan tangan kosong, pasti memiliki atau menggunakan sebuah alat atau instrumrn untuk membantunya. Demikian juga dengan apa yang di katakana husserl dengan fenomenologinya bahwa ketika menghadapi sebuah perintiwa atau fenomen maka kita harus menempatkan dirikita dengan sebuah kesadaran akan fenomen tersebuat bukan dengan interpretasi atau kesan-kesan yang ditimbulkan olehnya[11], sehingga kita tidak seperti apa yang dikatakan oleh gadamer sebagai pisau atau belati yang berada di balik sebuah jaket, atau dengan pribahasa kita adalah ada udang di balik batu.

Heidegger dalam konsepnya Verhabe (apa yang ia miliki/bawa) Vorsichet (apa yang ia lihat/ fenomen/peristiwa) dan yang terakhir adalah Vorgriff (apa konsep yang akan dia buat/interpretasi, afirmasi dan antisipasi)[12].

 

Hermeneutika dan lahan yang kosong

Kalaulah Hermeneutik hanya di artikan sebagai intrpretasi terhadap symbol-simbol, maka hermenetik menjadi sosok yang miskin yang telah direbut ruang bernafasnya sehingga semua terasa sesak. Oleh karena itu maka Risoeur memperluas dan melebarkan sayap ekspansi hermenetiknya terutama pada “wilayah Teks” sehingga hal t rsebut sangat mempengruhi dia dalam pendefinisian hermeneutic itu sendiri, seperti “ hermeneutic adalah teori pengoprasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi dan teks”. Sebuah teks akan memiliki makna yang berbeda ketika dihubungkan dengan konteks yang lainnya, sehingga akan membuat sebuah interpretasi dan makna menjadi kaya. Risoeur dalam hal ini menyebutkan polisemi[13].

Senada dengan Gadamer, risoeur menyatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan bahasa, sedangmeminjam istilahnya Gadamer“manusia adalah rumahnya bahasa”. dan bahsa sendiri merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia. Bahasa adalah bidang dimana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lainnya. Bahasa adalah tempat bertemunya analisa logika, fenomenologi, eksistensialisme, tefsir kiab suci hermenetika bahkan psikologi analisa, dan Bahasa dinyatkan dalam bentuk symbol.  Karna manusia itu sendiri adalah bahasa maka ketika sekumpulan manusia berkumpul atau masyarkat maka itu juga disebut dengan symbol. Dalamhal ini risoeur ingin menjelaskan bahwa sebenarnya sebuah teks itu mempunyai tempat diantara penjelasan stuktural dan pemahaman hermneutik yang berhadapan satu dengan yanglainnya, dimana krtika sebuah teks ditfsirkan maka semuanya tidak akan lepas dari situasi dan waktu teks itu berada-khusus-[14].


Teks yang Otonom

Pada dasarnya teks sendiri bersifat otonom unrtuk melakukan “dekontekstualisasi” (proses pembebasan diri dari konteks), baik dari sudut pandang psikologis maupun sosiologis, dan melakukan “rekontekstalisasi” (proses masuk kembali kedalam konteks) secara berbeda dalam tindakan membaca, sehingga yang menjadi tugas berat bagi hermenetis adalah bagaimana cara membaca/menafsirkan dari dalam tanpa harus masuk kedalamnya.

Ada tiga tiga macam otonomi teks, pertama, intensi atau maksud si pengarang. Dua, situasi cultural dan kondisi social pada saat teks itu berwujud. Tiga, untuk apa teks itu dimaksudkan. Dengan tiga otonomi ini maka jelaslah apa yang dimaksud dengan dekontekstualisasi, yaitu bagaimana teks dapat melepaskan diri dari intensi atau maksud sipengarang. Jadi teks membuka diri seluas-luasnya dengan berbagaimacam kemungkinan dengan melepaskan diri dari maksud si penulis sehingga pembaca bebas menginterpretasikannya  dan ini yang dimaksud dengan rekontekstualisasi. Dengan sama-sama membuka diri berarti psikologi dari keduanya melebur dan keduanya saling memberikan kepercayaan sehinnng seseorang dalam membaca sebuah teks dapat berinteraksi atau menghayati teks –proses dialektis- yang dibacanya sehingga dia mendapatkan objektifitas dari interpretasi teks tersebut tanpa ada prasangka-atau kerentanan yang disebutkan pada judul sebelumnya[15].

Kenapa teks menjadi sebuah otonimi ? karena . pertama, teks bersifat bebas (Distansisasi) dimana teks benar-benar terlepas dari proses pengungkapan sipenulis, karena itu, “teks dapat bergerak melampaui batas-batas horizon yang dihayati oleh sangpenulis. Materi yang dibicarakan lebih kaya daripada apa yang di bayangkan atau di abstraksikan oleh sipenulis; dan setiap penafsiran menyingkap karya teks dalam lingkaran makna yang membongkar sampai ke akar-akar psikologis penulisnya”[16]. Dua, teks menjadi dirinya sendiri dan terlepas dari pembicara, yakni tidakada kategoro penulis dan yang hada hanya pembaca pertama. Tiga, fleksibilitas teks yang bisa ditempatkan dalam konteks apapun serta dapat juga menjadi Dekontekstulisasi. Empat, teks independent, monolog dan senantiasa aktus sehingga dia tidak terikat oleh ruang dan waktu, dia bisa berdialog dengan siapapun dan menjadi abadi. Teks independent ini membawa kita kepada dunia teks sehingga ketika teks itu monolog maka kita mengikuti apa yang di gambarkan oleh teks[17].

 
Interpretasi dan Pemahaman

Interpretasi dan pemahaman merupakan sirkulasi yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, dimana kedua proses tersebbut sama-sama untuk mencapai sebuah keyakinan untuk menjadi aktus, being dan mengada. Ricoeur dalam hal ini mengungkapkan “Engkau harus memahami dulu untuk bisa yakin dan percarcaya dan yakin serta percayalah supaya engkau dapat mengerti dan memahami”.

Ada tiga langkah pemahaman menutur Ricoeur, Pertama langkah simbolik, atau pemahaman dari symbol ke symbol. kedua, pemberian makna oleh symbol serta penggalian  yang sermat atas makna. ketiga, langkah filosofis, yang berfikir berdasr symbol-simbol sebagai titik tolak  (ontologism).

Ketiga langgkah yang disebutkan diatas sebetlnya hamper mirip dengan langkah pemahaman bahasa sendiri. Pertama, Semantik, pemahaman berdasarkan dari bahasa itu sendiri-yang murni-. Kedua pemahaman Reflektif adalah pemahaman akan diri -tau dan sadar akan diri-, dan pemahaman ini hamper menuju atau berbeda tipis dengan pemahaman cara ketiga yaitu pemahaman Eksistensial atau Ontologis merupakan pemahaman pada tingkat being atau keberadaaan akan makna itu sendiri. Risoeur berpendapat bahwa dasar dari pemahaman itu sendiri adalah mengada “Cara Mengada”  (mood of being) atau cara “menjadi”.

Pemahaman menurut Risoeur adalah hanya akan terjadi pada proses dan tingkat pengetahuan, yaitu teori tentang pengetahuan itu sendiri. Karena kita tidak bisa sembarangan ketika teori tentang pengetahuan itu sendiri di hubungkan dengan pengetahuan yang bersifat ontologis, karena pemahaman sendiri terkadang masih terpengaruh oleh unsure-unsur material atau masih terkongkung oleh konsep-konsep atau sketsa-sketsa yang ada. Pemahaman model seperti ini sebenarnya bukan untuk menghindar dari eksistensialis atau realisme, akan tetapi Risoeur menginginkan bahwa sebuah metode Hermeneutik dapat bersaing dengan konsep pengetahuan dan pemahaman ilmu sains dan teknologi. Paul Risoeur sebenarnya mulai jengah dengan metode yang terstruktur, objektif dan kaku seperti yang terdapat dalam pengetahuan ilmu alamiah.sebabpemahaman adalah salah satu proyeksi dari Dassain (proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaan terhadap being. Pemahaman manusia seutuhnya ialah bahwasannya bagaimana kita dapat melihat seseorang sosok manusia dengan segala kelengkapan aspeknya –totality hostorycal- segala sesuatu yang membuat dirinya menjadi khas dan kita membuat dirinya menjadi sepertti itu dan menjadi.

Ada jenis pemahaman baru yang datang dari seorang filosof yang bernama Karl Jaspers, ia memandaskan bahwa melalui penderitaan seseorang dapat menjadi dirinya mengada dan memahami dan ini sebuah pengalaman pemahaman ontologism yang paling tinggi, dimana kita dapat merasakan  dan memahami hakikat dari manusia itu sendiri melalui pemahaman terhadap yang lain.       

 

DAFTAR PUSTAKA 

Risoeur. Paul, Hery. Musnur (penerjemah): Filsafat Wacana ; Membelah Makna dan Anatomi Bahasa. IRCiSoD. Yogyakarta. 2005.

Sumaryono. E, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. Kanisius; Yogyakarta, 1999.

Suseno. Franz Magnis, Diktat Mata kuliah Sejarah Filsafat Barat. STF Dryarkara, Tidak diterbitkan.

Thompson. John B, Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. Visi Humanika: Surabaya, cet, I ; 2005.

West. David, An Introduction To Continental Philoshophy. Blackwell Published Ltd. USA,1996.


[1] Magnis Suseno. Franz : Diktat Matakuliah Sejarah Filsafat Barat. 1997 STF Driyarkara.

[2] Risoeur. Paul : Filsafat Wacana ; Membelah makna dan anatomi bahasa. 2005. IRCiSoD. h 187

[3] Sumaryono. E : Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. 1999. Kanisius. H 103-104

[4] Ibid. h 105

[5] Jhon P. Thompson : Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. 2005. Visi Humanika. H 87

[6] West. David : An Introduction To Continental Philoshophy. 1996 Blackwell Published Ltd. H 96

[7] Risoeur. Paul : Filsafat Wacana ; Membelah Makna dan Anatomi Bahasa. 2005. IRCiSoD. h 30

[8] Jhon P. Thompson : Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. 2005. Visi Humanika. H, 89

[9] West. David : An Introduction To Continental Philoshophy. 1996 Blackwell Published Ltd. H, 108

[10] Sumaryono. E : Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. 1999. Kanisius. H 106

[11] Diterjemahkan dari  West. David : An Introduction To Continental Philoshophy. Blackwell Published Ltd. USA 1996. h, 87

[12] Ibid. h 107

[13] Sumaryono. E : Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. Kanisius; Jogyakarta. 1999. h 107

[14] Ibid. h 108

[15] ibid. h 109-110

[16] Jhon B. Thompson : Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. Visi Humanika; Jakarta, 2005. h, 101

[17] ibid. h 101-102

Makna Berkurban

oleh Nurcholis Madjid

KETIKA krisis keuangan yang diikuti krisis ekonomi menimpa negara-negara Asia (timur) pada tahun 1997, kita melihat fenomena menarik di beberapa negara di kawasan tersebut. Di Korea Selatan misalnya, kesulitan ekonomi pada saat itu telah mendorong begitu banyak warga negaranya menyumbangkan harta kekayaannya kepada pemerintah sebagai bentuk kepedulian akan kondisi yang berkembang saat itu. Fenomena serupa kita dapati juga di Thailand.

Di Indonesia, meskipun ada juga beberapa orang yang berbuat serupa, namun begitu kecil dan tidak signifikan sehingga hanya berkesan simbolik saja. Terlepas dari latar belakang politik dan budaya di negara-negara tersebut, hal itu tentu menimbulkan pertanyaan akan komitmen bangsa kita dalam menghadapi kesulitan bersama. Sepertinya setiap orang di negeri ini sibuk dengan kepentingan masing-masing, bahkan menempuh segala macam cara untuk keberhasilannya.Kondisi seperti ini tidak bisa kita diamkan terus. Kita harus menumbuhkan komitmen bersama untuk mengatasi persoalan tersebut hingga menuju ke arah yang lebih baik. Konsekuensi dari sebuah perjuangan tentulah memerlukan banyak pengorbanan. Komitmen dan pengorbanan dari segenap komponen bangsa itulah yang kita perlukan saat ini, dengan cara mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan dan kesenangan pribadi atau golongan.

Momentum Idul Adha yang akan dilaksanakan oleh umat Islam hari ini, seyogianya menjadi renungan kita bersama dalam menumbuhkan komitmen kebangsaan ini. Dari sisi sejarah, hari Kurban merupakan peringatan atas pengalaman rohani Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Ismail dan istri beliau, Siti Hajar, dalam menghadapi kesulitan akibat kekeringan di daerah Makah.

Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia. Berkurban- yang pada masa Nabi Ibrahim disimbolkan dengan mengorbankan seekor domba – memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang begitu indah dan agung. Diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi yang haq untuk menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu sekaligus ujian bagi Nabi Ibrahim untuk rela mengorbankan anaknya demi memperoleh rida Allah. Dan Nabi Ibrahim berhasil membunuh ìberhalaî rasa cinta kepada anaknya demi memperoleh rida Allah, yang kemudian Allah mengganti kurban tersebut dengan seekor kambing.

Ini seharusnya menjadi teladan bagi kita karena kecintaan kepada anak yang berlebihan dapat membuat kita berbuat kezaliman-kezaliman sosial, terutama korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti banyak terjadi dalam kehidupan keseharian di negeri ini. Hikmah LainHikmah lain dari kisah tersebut adalah ternyata kesediaan berkurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim bermuara pada kepedulian sosial. Artinya, kita harus sadar bahwa perintah kurban bukan sekadar suatu bentuk charity tanpa implikasi sosial yang jelas, melainkan sungguh suatu upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan menyadari tujuan berkurban sembari memahami bahwa pada masa Nabi Ibrahim kambing atau hewan ternak secara umum merupakan simbol kekayaan yang paling tinggi yang dimiliki seseorang, maka pada saat ini semangat berkurban seharusnya jauh melampaui daripada sekadar mengurbankan seekor kambing.

 Hal ini berangkat dari realitas sosial yang berkembang di masyarakat, yang masih banyak saudara-saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, tingkat anak putus sekolah yang tinggi, kualitas kesehatan masyarakat yang rendah, dan realitas sosial lain yang begitu mengkhawatirkan. Dari kesadaran tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kembali rasa optimisme warga bangsa ini menuju kepada cita-cita kemandirian bangsa yang berkeadilan sebagai tujuan bernegara.

Menimbang Nurcholish Madjid

Oleh Amich Alhumami

KAJIAN tentang tema Islam dan modernisme selalu saja menarik perhatian. Tema keislaman dan kemodernan merupakan sebuah wacana pemikiran, yang mampu membangkitkan gairah intelektual untuk mendiskusikannya. Tema ini menarik perhatian terutama berkaitan dengan pertanyaan penting: apakah Islam itu kompatibel dengan modernisasi. Biasanya para pemikir dan intelektual Muslim secara subyektif menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan, bahwa Islam itu bukan saja kompatibel dengan kemodernan, melainkan juga memiliki hubungan organik dengan modernitas. Karena itu, umat Islam memiliki kelenturan yang luar biasa dalam melakukan adaptasi dengan perkembangan modern. Islam merupakan agama yang paling siap menerima proses modernisasi.

Seorang ahli sosiologi agama, Robert N Bellah, misalnya, secara mengejutkan memberikan penilaian bahwa Islam salaf (Islam klasik) itu sangat modern untuk ukuran tempat dan waktu pada masa itu. Islam klasik ternyata memiliki ciri-ciri yang sama secara fundamental dengan apa yang ada dalam masyarakat modern di Barat. Dalam kata-kata Bellah, “when the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a word empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern.”

Demikianlah, Islam itu adalah sebuah agama yang mempunyai watak, visi, dan pandangan ke arah kemajuan. Islam bukan agama konservatif dan tradisional, melainkan agama yang memberi tempat bagi modernitas. Di sini, ada persenyawaan yang harmonis antara Islam dan modernitas. Dalam hal ini masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemodernan dengan tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang dianut. Bahwa menjadi modern itu tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dalam menjalankan ajaran agama; seseorang bisa saja menjadi modern dengan tetap setia kepada Islam.

Islam sendiri mengajarkan untuk selalu bersikap terbuka dan bisa berlaku adaptif terhadap hal-hal yang baru (modern). Apalagi hal-hal yang baru tersebut mengandung nilai-nilai positif dan membuka jalan ke arah kemajuan dan kemodernan. Islam juga menganjurkan untuk mengambil pelajaran yang berharga dari mana pun datangnya. Landasan teologis yang selalu dijadikan rujukan untuk menegaskan betapa Islam itu sangat terbuka bagi kemajuan dan kemodernan adalah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “al-mukhafadhotu ‘alal qadim as-sholih wal akhdhu bil jadid al-ashlah – mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang (lebih) baik.”

MEMPERBINCANGKAN gerakan modernisme Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Nurcholish Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur, karena dialah tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentu saja Cak Nur tidak sendirian dalam menyuarakan pemikiran-pemikiran pembaruan. Ada banyak tokoh seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan Islam di Indonesia seperti M Dawam Rahardjo, M Amien Rais, M Imaduddin Abdulrahim, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Adi Sasono, Jalaluddin Rakhmat, dan banyak lagi yang lain. Namun di antara banyak tokoh itu, Cak Nur mempunyai tempat yang khusus dan peranan yang sangat dominan. Tanpa bermaksud melebihkan dari yang lain, Cak Nur adalah sang pelopor dari sebuah kebangkitan apa yang disebut the new moslem intellectual thinker, yang muncul sejak dekade 1970-an. Bahkan dengan nada menyanjung dan penuh kekaguman, majalah Tempo menjulukinya sebagai “lokomotif” gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Tentu saja banyak argumen mengapa Cak Nur ditempatkan pada kedudukan yang sangat terhormat dan istimewa dalam setting gerakan modernisme Islam itu.

Cak Nur adalah pemikir Islam yang mempunyai pengaruh kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam di Indonesia. Pikiran-pikirannya membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan komunitas Islam; dan lebih dari itu ia bahkan menjadi rujukan serta kiblat kaum intelektual Muslim Indonesia. Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Cak Nur dalam sejarah intelektualisme Islam Indonesia adalah, ia telah berhasil mengembangkan wacana intelektual di kalangan masyarakat Islam secara modern, terbuka, egaliter, dan demokratis. Wacana demikian amat relevan dengan realitas masyarakat Indonesia yang pluralis baik dari segi agama, etnis, maupun budaya.

Bagi Cak Nur, kenyataan pluralisme masyarakat Indonesia itu seyogianya menjadi landasan sosial, untuk menampilkan Islam secara inklusif, terbuka, dan demokratis, serta mewadahi semua unsur masyarakat dalam satu bangunan tunggal: bangsa Indonesia. Meskipun umat Islam mayoritas di negara ini sebaiknya tidak bersikap eksklusif, karena hal itu bisa mengganggu hubungan sosial dalam semangat keutuhan sebagai bangsa. Wacana intelektual seperti itulah yang sekarang ini menjadi mainstream, dan lebih bisa diterima oleh banyak kalangan. Sejarah telah membuktikan, bahwa wacana pemikiran keislaman yang bercorak pluralis dipandang sangat sesuai dengan format masyarakat Indonesia di masa depan.

Wacana pluralisme Islam ini sangat penting, terutama dalam upaya membangun harmoni sosial di antara segenap komponen bangsa yang beragam latar belakang sosial, budaya, dan agama. Dalam perspektif teologi-politik, wacana pluralisme Islam itu tercermin dalam paradigma gerakan politik Islam yang tidak mengutamakan aspek formalisme dan legalisme. Paradigma yang dianut oleh para pendukung pluralisme adalah melakukan proses substantialisasi nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan kebangsaan. Karena itu, aspek-aspek keislaman yang bersifat simbolik menjadi kurang penting dan tidak signifikan. Formalisme dan legalisme seperti tercermin dalam pembentukan partai politik Islam atau negara Islam dinilai sangat tidak strategis. Terbukti bahwa ketika sebagian umat Islam cenderung lebih mengutamakan formalisme dan legalisme, yang terjadi justru proses alienasi dan isolasi politik dalam kurun waktu yang sangat lama.

DALAM perspektif demikian, Islam seyogianya tidak dijadikan sebagai ideologi-politik, sebab selain dikhawatirkan akan mereduksi nilai Islam, juga bisa mempersempit ruang gerak Islam dalam dinamika sosial-kemasyarakatan. Jika Islam tampil sebagai kekuatan ideologi-politik, maka itu bukan saja akan menjadikan umat Islam sebagai kelompok eksklusif dalam konfigurasi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, tetapi juga bisa menciptakan situasi yang rentan terhadap munculnya konflik sosial politik, yang dilandasi oleh sentimen primordial dan emosi keagamaan. Konflik tersebut jelas dikhawatirkan bisa membawa ke arah disintegrasi nasional.

Dengan segala kearifan dan jiwa kenegarawanan, terutama untuk menjaga keutuhan bangsa, generasi intelektual Islam modernis mencoba membangun sebuah paradigma baru, yang tidak menempatkan Islam politik sebagai agenda utama perjuangan. Bagi kelompok intelektual Muslim pembaru, yang menjadi agenda utama justru bagaimana Islam bisa menjadi landasan etik dan moral dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, Islam harus ditampilkan secara inklusif dalam realitas kehidupan kebangsaan yang majemuk ini. Jargon yang sangat terkenal dari Cak Nur adalah “integrasi antara keislaman dan kebangsaan” dalam wadah Indonesia modern.

Cak Nur memang telah menjadi simbol kaum intelektual Muslim modernis Indonesia. Jika pada masa-masa pra dan awal kemerdekaan, simbol kaum terpelajar dari kalangan Islam itu melekat pada diri H Agus Salim dan Muhammad Natsir, maka pada masa sepeninggal mereka, simbol itu disandang oleh Cak Nur. Dalam konteks ini, posisi individual Cak Nur mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan komunitas Muslim Indonesia. Pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia. Tanpa bermaksud menyanjung dan melebih-lebihkan, Cak Nur bisa disebut sebagai sosok intelektual Muslim Modernis par exellence.

Kapasitas intelektual Nurcholish Madjid memang terbilang istimewa. Ia bukan saja menguasai secara sangat mendalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, sehingga dengan fasih berbicara mengenai banyak hal yang berkaitan dengan khazanah keilmuan Islam tradisional, melainkan juga mempunyai dasar-dasar yang kukuh di bidang tradisi ilmu-ilmu sosial modern (baca: Barat), sehingga mahir mengartikulasikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan dinamika sosial dan perkembangan masyarakat. Tentu saja kemampuan tersebut merupakan kombinasi sempurna, untuk bisa menyuarakan ide-ide pembaruan di kalangan umat Islam. Cak Nur mempunyai otoritas intelektual yang bisa dipertanggungjawabkan, untuk berbicara tentang masalah-masalah strategis baik yang berkaitan dengan tema keislaman maupun tema sosial-kemasyarakatan. Kombinasi dua kemampuan itulah yang melahirkan sinergi, sehingga bisa menopang gerakan pembaruan Islam di Indonesia.

DEMIKIANLAH, Cak Nur telah berhasil meletakkan dasar-dasar pemikiran yang kukuh sebagai landasan bagi upaya mengembangkan kiprah umat Islam di tengah-tengah realitas kemajemukan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, inklusivisme Islam menjadi sangat penting, untuk membangun persenyawaan harmonis dalam interaksi sosial dan memperkukuh integrasi bangsa. Dengan watak inklusif seperti itu, maka Islam akan tampil dengan wajah yang ramah dan rendah hati, serta dilandasi oleh semangat toleransi, sehingga tidak akan menimbulkan kekhawatiran, apalagi kecemasan dan ketakutan, dari kalangan mana pun di luar Islam.

Dengan ide-ide pluralisme itu, tidaklah mengherankan bila Cak Nur, selain Abdurrahman Wahid, relatif lebih bisa diterima oleh kalangan di luar Islam. Figur Cak Nur, seperti halnya figur Abdurrahman Wahid, adalah sedikit dari tokoh Islam yang mampu mengembangkan basis ketokohan dalam spektrum yang luas, bukan hanya di kalangan umat Islam sendiri, tetapi telah melebar ke kalangan non-Islam. Barangkali antara Cak Nur dan Abdurrahman Wahid memiliki tingkat akseptabilitas yang sebanding di lingkungan umat non-Islam. Nyata sekali kewibawaan Cak Nur itu bukan hanya sebatas di kalangan intern umat Islam saja, tetapi terasakan pula di kalangan umat agama lain. Ungkapan seorang rohaniwan Katolik berikut jelas menggambarkan hal tersebut: “Sikap dan pandangan keagamaan Cak Nur itu bersandar pada sendi-sendi kemanusiaan universal, yang melampaui kotak-kotak agama.” Dengan demikian, basis konstituen Cak Nur juga berkembang lebih meluas dan melebar, melintasi sekat-sekat primordial dan menembus batas-batas agama.

Mungkin figur seperti Cak Nur itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di masa depan. Figur yang menginsyafi sepenuhnya realitas kemajemukan masyarakat, yang tercermin dalam pandangan-pandangan keagamaan dan politiknya yang sangat terbuka, toleran, dan demokratis. Bagi Cak Nur, di Bumi Indonesia setiap elemen masyarakat dan bangsa harus mendapat perlakuan yang setara tanpa membedakan latar belakang etnis, budaya, atau agama. Keinsyafannya akan realitas pluralisme masyarakat ini bahkan melampaui dasar-dasar keyakinannya sebagai pemeluk Islam. Meskipun demikian, hal itu tidak kemudian mengubah kesetiaannya kepada Islam; Cak Nur tetaplah seorang Muslim yang taat yang siap membela umat Islam bila mendapat perlakuan yang tidak adil.

Dalam situasi krisis kepemimpinan bangsa seperti sekarang ini, tampilnya figur yang berintegritas, kredibel, berakhlak mulia, dan terpercaya sungguh sangat dirindukan oleh masyarakat. Cak Nur jelas merupakan tokoh Islam terkemuka yang memiliki kualitas-kualitas tersebut, dan sangat memadai untuk bisa mendapatkan kehormatan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Dengan wawasan dan visi pluralisme yang demikian kental, umat beragama selain Islam mempunyai alasan kuat untuk bisa menerima Cak Nur menjadi pemimpin bangsa dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dan berkeadilan. Wallahu a’lam Bis-showab.

(* Amich Alhumami, alumnus Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta. )

Islam dan Politik

Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan

Nurcholish Madjid

A. Mukadimah

Untuk kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan agama dan politik dalam Islam. Ibaratkan menimba air Zamzam di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada habis-habisnya. Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.

Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja Dunia Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya memberi jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam Islam.

Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari’ah (pemilik syari’ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.

Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan “duniawi” mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan “untuk apa” tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).

Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah –sesuai dengan perintah Allah– yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat Nabi Muhammad s.a.w. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.8

B. Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah

Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang dirasa paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik.

Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa’ dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.

Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah

Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab “madinah” berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu “d-y-n” (dal-ya’-nun), dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu. Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk “agama” ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut “agama” itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak.9 Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound). Karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya,10 bahkan alam raya itu sendiri juga,11 yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa.12 Karena kepatuhan serupa itu merupakan “hukum alam” (lebih tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.13

Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab “din” itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta “agama”. Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian “a-gama” yang berarti. “tidak kacau”, yakni, teratur atau berperaturan. (”Agama” dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).

Kembali ke perkataan “madinah” yang digunakan Nabi s.a.w. untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.

Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga “polisi”). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut “kota” (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti “kebudayaan”, dan hadlarah menjadi berarti “peradaban”, sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan “hidup berpindah-pindah” (nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” (bidayah, alis “primitif”). Karena itu “orang kota” disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan “orang kampung” disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum “badui” Juga sering disebut al-A’rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-’Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama. Dalam al-Qur’an mereka yang disebut al-A’rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.14 Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur’an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru “berislam” (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.15

C. Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban

Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan nomenklaturnya.

Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu keimanan.

Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab’i), sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu,16 sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama.17 Itu sebabnya dalam al-Qur’an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.18 Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme (thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur’an digambarkan sebagai permusuhan kepadaAllah.19

Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan Nabi s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan menjalankan hukum aturan manusia dengan asli,20 masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.

Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil “tanpa pandang bulu” banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat.21 Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu “orang penting” maka dibiarkan berlalu.22

Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri).23 Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya.24 Bahkan konsep tentang “hapus-menghapuskan” ini, menurut Ibn Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri.

D. Islam dan Politik Modern

Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktek tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi Barat, yang kemudian berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern.

Beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara “modernisme” dan “modernitas”. Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai “kebijakan final” umat manusia, perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban. jadi “modernisme”, sebagai “isme”, mendekati ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi.

Sedangkan “modernitas” adalah suatu ungkapan tentang kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif dan negatif yang campur aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar. Tetapi, tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa kesucian, dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern sekarang menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tapi dalam beberapa hal lain justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigines untuk kesenangan dan cendera mata orang-orang kaya Eropa (!) dan pengisi museum antropologi mereka (Republika, 19 Maret 1998), pembersihan etnis dan genosida oleh bangsa-bangsa (”modern”) Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah supreme, amat jauh mengatasi bangsa-bangsa “modern” tersebut, biar pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah.

Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas itu tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam tidak lain ialah, tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan kesarjanaan mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya agama, yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya tetap relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri.25 Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi.

Wa ‘l-Lah-u a’lam.

Catatan kaki:

8 Misalnya, sebagaimana ditulis oleh Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

9 Lihat Q., s. al-Tawbah/9:29.

10 Lihat Q., s. Alu’ Imran/3:83.

11 Lihat Q., s. Fushshilat/41:11.

12 Lihat Q., s. Alu’ Imran/3:84.

13 Lihat Q., s. Alu’ Imran/3:85.

14 Lihat Q., s. al-Tawbah/9:97.

15 Lihat Q., s. al-Hujurat/49:14.

16 Lihat Q., s. al-Baqarah/2:177.

17 Lihat Q., s. al-Nahl/16:91.

18 Lihat Q., s. al-’Alaq/96:6-7.

19 Prototipe tokoh tiran (thaghut) yang memusuhi Tuhan ialah Fir’awn, yang ceritanya dituturkan berulang kali dalam al-Qur’an.

20 Lihat Q., s. al-Nisa’/4:85.

21 Lihat Q., s. al-Nis’a’/4:135.

22 Hadits yang artinya: “Sebenarnya hancur mereka sebelum kamu karena mereka menegakkan hukum atas rakyat jelata dan meninggalkan hukum atas orang besar. Demi Dia -Allah- jiwaku ada di Tangan-Nya, seandainya Fathimah berbuat jahat maka pasti aku potong tangannya”. (Hadits Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Nasa’i, Ahmad, dan Darimi).

23 Prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial keagamaan yang berbeda-beda (non-Muslim) itu dibeberkan dalam deretan ayat-ayat suci Q., s. al-Ma’idah/5:42-49.

24 Penegasan yang amat menarik dari Ibn Taymiyah itu dapat dibaca dalam beberapa tulisannya, antara lain, dapat dilihat dalam Ibn Taymiyah, al-Jawab al-Shahih li man Baddala Din al-Masih (Beirut: Mathabi’ al-Majd al-Tijariyah, tth.), juz 1, h. 37l-375). Lihat juga Ibn Taymiyah, al-Furqan bayn-a ‘l-Haqq wa ‘l-Bathil (Damsyiq: Maktabah Dar al-Bayan, 1405 H/1985 M), h. 67-69.

25 “… Only Islam survives as a serious faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and the operation can be presented, not as an innovation or concession to outsiders, but rather as the continuation and completion of an old dialogue within Islam … Thus in Islam, and only in Islam, purification/modernization on the one hand, and the reaffirmation of a putative old local identity on the other, can be done in one and the same language and set of symbols.” (Ernest Gellner, Muslim Society, [Cambridge: Cambridge University Press, 1981], h. 4).

« Previous entries