Kritik Terhadap nalar Tekstual
Nalar Tekstual
Nalar sebagai sebentuk kesadaran kebahasaan dalam hubungannya dengan peran kitab suci sebagai sistem epistemologis (teori pengetahuan) akan menjadi sebuah identitas ideologis atau pandangan dunia yang akan memposisikan diri sebagai alat ukur kebenaran. Ciri nalar tekstual adalah dominannya “otoritas teks” dalam sistem pengetahuan yang dibangun yang berasal dari wahyu, hadist, dan pemikiran intelektual terdahulu.
Dalam nalar tekstual, peran bahasa begitu penting untuk membentuk realitas, bukan sebaliknya realitas yang membentuk bahasa. Seperti pembahasan awal tentang struktur kesadaran, nalar tidak mampu keluar dari kungkungan struktur kebahasaan yang menjadi alat untuk mentransformasikan ide atau gagasan, karena dunia telah diciutkan dan dilipat dalam bahasa. Maka, secara epistemik kesadaran manusia akan terpenjara dalam suatu konteks ruang dan waktu tertentu. Kesadarannya adalah kesadaran masa lalu. Hal inilah yang dikonsepsikan oleh Muhammad Arkoun tentang parameter-parameter yang ‘terpikirkan’, ‘yang tak terpikirkan’ dan ‘tak mungkin terpikirkan’.
Sebagai sistem pengetahuan, nalar tekstual dalam pendekatan tata pemainan bahasa (language-games) ala Wittgenstein adalah penentu dalam aturan permainan bahasa. Seperti permainan catur, manusia digerakkan oleh hukum-hukum kebahasaan yang telah ditentukan dan di sinilah sistem makna tercipta. Dan tidak ada alasan bagi kita untuk menolak anggapan bahwa sistem sosial kita tersusun seperti halnya bahasa, sebab tanpa bahasa manusia tak mampu mendefinisikan diri dan dunianya, melalui bahasa manusia mengatur dirinya.
Dalam konteks pembahasan kita, kerancuan nalar tekstual adalah ketika menganggap bahwa segala persoalan realitas telah terangkum dalam teks. Lupa bahwa alam semesta adalah teks kebahasaan yang tak terhingga, bahwa pengalaman lebih luas dari bahasa. Dalam pemahaman Heidegger bahasa semata-mata sebagai deskripsi atau alat penyampai informasi, maka dengan sendirinya kita menciutkan dan mendistorsikan pengertian kita tentang “dunia” dan “eksistensi”. Maka, gugatan kita selayaknya diarahkan pada proses pembakuan teks hasil interpretasi ulama terdahulu terhadap wahyu sebagai tafsir otoritatif modus penjelasan realitas.
Untuk menjadi peradaban alternatif, Islam perlu melakukan dekonstruksi pada tataran epistemologis, maksudnya perubahan dilakukan pada aspek terdasar bagaimana sistem pengetahuan itu dibentuk. Tujuan kita melakukan kritik terhadap bangunan nalar tekstual adalah untuk memberi jaminan pada nalar lainnya, misalnya ide kontekstualisasi Islam.
Kritik Terhadap Nalar Tekstual Islam
Munculnya berbagai gerakan pembaharuan dalam Islam mulai dari yang bercorak fundamentalis, revivalis, tekstual sampai kontekstual merupakan suatu keniscayaan sosio-historis yang perlu diapresiasi dan dieksplorasi. Diskursus renaisans (kelahiran kembali) Islam yang marak dikaji adalah upaya memberi pendasaran epistemologis (teoritik dan metodis) bagi tujuan ideologis (cita-cita Islam) seperti yang pernah digagas oleh Ziauddin Zardar, Muhammad Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun dan sederet nama lainnya.
Isu kebangkitan Islam manjadi tantangan tersendiri untuk mendobrak tesis Fukuyama tentang ‘Akhir dari Sejarah’ (the end of history) yang bermuara pada ‘demokrasi liberal’ dan terciptanya masyarakat konsumtif. Masih adakah harapan munculnya kembali Islam sebagai peradaban alternatif di tengah krisis patologi modernitas. yakni untuk melakukan pembedahan terhadap gerakan pemikiran Islam dengan mengambil latar belakang kritik nalar tekstual.
Merujuk pada pandangan Arkoun dalam bukunya kritik nalar Islam, Menurut Arkoun; Kritik tidak mungkin dilakukan jika hanya dengan pendekatan tekstual terhadap formulasi internal teks, karena –meminjam teori hermeneutik komunikatif Habermas– nalar, makna, dan kebenaran objektif, bukanlah semata-mata produk teks, melainkan adalah produk komunikasi dialektik antara teks dengan konteks. Dalam pandangan Arkoun, pemahaman terhadap al-Quran merekomendasikan telaah atas konteks audience yang mempengaruhi pembentukan formulasi teks. Al-Quran tidak boleh dipandang hanya sebagai teks an sich, melainkan harus dipahami sebagai teks komunikatif dan dialektik, seperti teori Habermas, misalnya sebagaimana pembacaan al-Jahidh terhadap teks-teks Arab.
Sebelum kita membahas kritik terhadap nalar klasik, sebelumnya kita harus membahas konsep dan struktur nalar terlebih dahulu. Konseptualisasi dan strukturisasi nalar memiliki peran penting dalam ruang bedah kritik-analitik. Nalar, menurut disiplin humaniora yang diadopsi oleh Arkoun, dikonseptualisasikan sebagai fenomena historis yang senantiasa berubah secara dinamis sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Nalar, dalam konseptualisasi disiplin humaniora, tidak memiliki dimensi transendensialitas, melainkan sebagai entitas yang memiliki dimensi historisitas. Konseptualisasi seperti ini secara gamblang berbeda dengan konsep nalar dalam perspektif neo-platonisme ataupun Aristotelian, dimana nalar dipandang sebagai kekuatan abadi yang mendapat pancaran akal aktif metafisis guna menerangi setiap kekuatan demonstratif manusia.
Nalar, dalam teori Arkoun, bersifat inklusif dan juga pluralis. Nalar sangat beragam tergantung pada keberagaman metode-metode. Nalar yang digunakan oleh Hasan Basyri berbeda dengan nalar Ibn Khaldun. Nalar Ibn Khaldun berbeda dengan nalar Abduh. Nalar Abduh berbeda dengan nalar Renan, dan seterusnya. Nalar Abduh sama sekali tidak mengenal terma-terma filologi, sementara nalar Renan tidak mengenal khayalan dan khurafat keagamaan yang justru menjadi materi kritik Abduh. Oleh sebab itu, istilah ‘nalar’ dalam teori Arkoun seyogyanya dipahami sebagai ‘metode’.
Historisitas Nalar Ushul Fiqh
Dalam mengkaji diskurus ini, Arkoun memilih Syafi’i sebagai sample. Pembacaannya terhadap al-Risalah karya Syafi’i sampai pada kesimpulan seperti –kurang lebih– kesimpulan Nashr Hamid Abu Zaid. Kesimpulan Arkoun tersebut dapat disederhanakan dalam poin-poin berikut: 1) Upaya Syafi’i menjustifikasi dan memberikan pembasisan terhadap supremasi bahasa Arab sebagai bahasa transendental agama yang sacret; 2) pembasisan dan sakralisasi sunnah berdasarkan tafsiran skriptural atas teks-teks al-Quran dan teori sinonimitas. Akibatnya, sunnah menjadi transendental, ahistoris, dan terkuduskan sebagaimana kudusnya al-Quran; 3) Syafi’i telah berupaya menundukkan akal di bawah hegemoni teks.
Sejarah Nalar Islam
Dengan terilhami oleh amukan-amukan teoritis ‘diskontinuitas’ Michel Foucault, Arkoun secara epistemik membagi sejarah nalar Islam menjadi empat penggalan (rupture): 1) era pendasaran nilai-nilai Islam. Episteme nalar Islam pada periode kenabian ini ditandai oleh wacana-wacana yang inklusif, realistis, historis, dialektik, dan gradual; 2) era nalar Islam klasik seiring dengan pembasisan disiplin ilmu pengetahuan. Retakan-retakan sejarah nalar Islam klasik ini dimulai sejak pertengahan abad pertama sampai penghujung abad keempat. Meskipun pada periode ini di satu sisi terdapatkan kecenderungan negatif berupa munculnya percikan inklinasi ortodoksi yang hendak mengenyahkan dimensi-dimensi historisitas, namun, di sisi lain, gerakan keilmuan berkembang pesat, terutama di kawasan Damaskus, Baghdad, Cordoba, Cairo, dan sebagainya, dengan didukung oleh otoritas imperium dan antusiasme kalangan borjuis. Pada era ini, kecenderungan ortodoksi masih kalah oleh kecenderungan dialektik antara agama dan nalar. Periode ini juga menyaksikan munculnya inklinasi humanisme di tangan Miskawayh dan Abu Hayan al-Tawhidi.
Struktur Internal Nalar Islam: Proyek Harmonisasi Kesadaran Islami
Pada tataran permukaan, nalar Islam tampak sangat beragam. Ada nalar Sunni, nalar Syi’i, nalar Khawariji, nalar teologis, nalar mistis, nalar filosofis, nalar politis, nalar fikih, dan nalar-nalar yang lain. Sepanjang bentangan sejarah Islam, nalar-nalar ini senantiasa bertarung di atas altar yang terjejali oleh antagonisme. Namun pada tataran substansial atau esensial, nalar-nalar tersebut sejatinya memiliki kesamaan struktur internal yang dapat dijadikan acuan untuk menyatukan kesadaran Islam. Untuk merealisasikan kerja ini, Arkoun meminjam konsep ‘Tipologie’ Aristoteles yang tampaknya juga diterima oleh kalangan strukturalis. Bagi Aristoteles, konsep ‘Tipologie’ adalah “barometer universal yang mencakup varian analogi dan aksioma”. Definisi ini kemudian dimodifikasi oleh Arkoun guna membangun ‘tipologi struktur internal nalar Islam’ (al-mawqi’iyyah li bunyah al-dakhiliyyah li ‘aql al-Islami), yakni “struktur internal umum yang mengakomodir persoalan-persoalan yang diperdebatkan oleh nalar Sunni vis a vis nalar Syi’i, dan nalar-nalar lainnya”. Kesamaan struktur internal tersebut antara lain sebagai berikut:
(1) Semua nalar Islam tunduk pada teks primer (baca: al-Quran), tak terkecuali nalar para filosof maupun Muktazilah. Jika ada perbedaan, maka perbedaan itu hanya berkisar pada tataran metodologi pengahampiran teks atau mekanisme berinteraksi dengan teks.
(2) Struktur internal nalar Islam dicirikan dengan ketundukan pada otoritas imam-imam.
(3) Nalar firqah najihah. Berangkat dari hadits keterpecahan umat Islam menjadi 73 sekte, maka masing-masing sekte mengklaim golongan mereka sebagai sekte benar yang selamat, sementara sekte lainnya salah dan masuk nereka. Semua sekte memiliki karakteristik yang sama, yakni mengklaim di pihak yang benar. Kesamaan klaim ini adalah kesamaan struktur internal nalar sekte-sekte. Bagi Arkoun, untuk menyatukan kesadaran Islam amat dibutuhkan kritik terhadap nalar-nalar sekratianistik Islam. Umat Islam dewasa ini harus menyadari bahwa agama mereka hanyalah satu, sementara perbedaan sektarianistik hanyalah produk faktor politis dan historis. Dus, di sini kita dapat melihat bahwa Arkoun tidak hanya memandang perbedaan, melainkan juga persamaan antar sekte-sekte. Dengan pandangan yang serempak ini, Arkoun ingin melampaui capaian-capaian orientalis, misalnya, seperti capaian Luis Massignon, Henri Corbin, dan Henri Laust, yang secara monolitik hanya mengkaji persamaan atau perbedannya saja.
(4) Nalar Islam adalah nalar ortodoksi yang ahistoris. Nalar ortodoksi dicirikan oleh sikapnya yang acap mendaku memiliki dimensi transendensialitas yang melampaui ruang-ruang historis. Untuk itu, kritik nalar Islam bertugas mendesakralisasi dan mendekonstruksi dimensi transendensialitas dengan menundukkan nalar tersebut pada historisitas.
Pembaharuan Hukum Islam Indonesia
Perdebatan tentang elastisitas dan adaptabilitas hukum dengan tuntutan kondisi sosial menjadi perdebatan serius dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Secara umum, jurist Muslim juga terpilah menjadi dua kelompok: kelompok pro perubahan dan anti perubahan, alias pro status quo. Pemilahan seperti ini akan tampak dengan jelas ketika kita melihat pemikiran mereka tentang konsep maslahah dan peluang yang mereka berikan kepada peranan adat. Al-Ghazzali, al-Shatibi dan Abdul Wahhab Khallaf, misalnya, bisa dikatagorikan kepada aliran pro perubahan, sementara para pemegang kebijakan kolonial, seperti van Den Berg, cenderung kepada kelompok sebaliknya. Kelompok anti perubahan ini mendasarkan argumennya pada kesakralan dan keabsolutan konsep hukum Islam, terisolirnya asal-usul dan perkembangan hukum dari lembaga perubahan hukum dan masyarakat dalam sejarah Islam serta kurang cukupnya metodologi perubahan hukum Islam.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.
Munculnya era reformasi yang menjadi lambang menguatnya civil society dan runtuhnya mitos birokrasi yang me”mapan”kan cengkeraman kuku-kuku kekuasaan seakan menjadi awal yang baik bagi terbukanya peluang pengembangan hukum Islam yang mengakar pada social demand dan bukan pada kepentingan politik negara.
Desakralisasi ushul al fiqh
Setiap ilmu itu bersifat nisbi dan relatif tingkat kebenarannya. Ilmu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sudah pasti, berhenti, dan tidak bisa dipermasalahkan lagi tingkat aktualitasnya. Setiap ilmu harus dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pengembangan daya nalar dan kreativitas kaum Muslim pada masa tertentu. Oleh karena itu, mengutip Hasan A Al Turabi dalam Tajdid Al Fikr Al Islami, suatu ilmu bisa saja akan tampak canggih dan berwibawa dalam memberikan solusi-solusi berbagai permasalahan hukum Islam pada masa lalu, tetapi bisa jadi tampak tak berdaya bila diterapkan pada masa sekarang ini. Ini amat wajar terjadi, karena ia disusun dalam kondisi historis dan dipengaruhi oleh watak problematika hukum Islam yang menjadi pembahasan hukum Islam waktu itu (abad pertengahan) (Turabi, 2003).
Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan pesat, sementara hukum Islam lama berpijak pada pengetahuan terbatas ihwal metode perumusan sistem hukum yang mempunyai relevansi dengan realitas alam dan norma-norma sosial. Di lain pihak, ilmu tekstual yang dimiliki kaum Muslim di masa itu sangat minim, dan sarana untuk menelaah, meneliti, serta menyebarkan ilmu juga masih sulit. Singkat kata menurut Al Turabi, saat ini, memikirkan kembali formulasi metodologi pengambilan hukum dalam kerangka pembaruan ilmu ushul al fiqh menjadi kebutuhan yang amat mendesak.
Di Indonesia sendiri, perhatian terhadap pentingnya pembaruan ushul al fiqh telah digagas oleh banyak kalangan baik secara perorangan ataupun kelompok. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa, pembaruan juga perlu menyentuh aspek substansial yang meliputi sisi ontologi dan epistemologi. Artinya, paradigma yang menjadi fondasi bangunan ushul al fiqh klasik selama ini tidak luput dari kritik dan dekonstruksi (suatu upaya ambisius yang dapat menuai kritik balasan yang cukup pedas).
Namun, sedikit mengabaikan kemungkinan terakhir itu, terlihat ada hal yang sangat menarik dari elaborasi di atas, yaitu tampaknya para pemikir Muslim kontemporer tidak berhenti pada tataran kritik, tetapi telah memikirkan secara serius aspek-aspek mana saja dari ushul al fiqh yang patut diperbarui dan bagaimana memperbaruinya.
Fenomena itu sangat menarik, karena akan memudahkan bagi para peminat ushul al fiqh untuk mengikuti, mengetahui, mempelajari, mengritik, dan bila mungkin memberikan kontribusi pemikiran pada proyek besar tersebut. Persoalannya sekarang adalah tinggal bagaimana umat Islam dapat menyikapi secara positif fenomena tersebut dengan tidak menyalahpahami dan mereduksinya sebagai upaya mendekonstruksi kemapanan Islam. Namun sebaliknya, kita perlu menganggap semua itu sebagai bagian dari dinamika Islam yang patut disyukuri dalam rangka mencari cara untuk memecahkan persoalan umat sebaik-baiknya.
Reformulasi Hukum Islam
Sejarah Indonesia telah membuktikan pergeseran dan perubahan format acara, scope dan otoritas hukum Islam. Menguatnya dua bentuk hukum, hukum adat dan hukum Islam, pada masa formatif menjadi model awal hubungan hukum di Indonesia. Hal ini kemudian bergeser menjadi penguatan dua kutub kepentingan yang berfokus pada subyek yang berbeda, yakni negara dan masyarakat. Kalau pada masa awal terjadi persaingan, disamping proses akulturatif, antara hukum adat dan hukum Islam, maka pada masa-masa berikutnya sampai pada masa Orde Baru persaingan kekuatan itu berubah menjadi persaingan antara kepentingan masyarakat untuk tetap tunduk pada otoritas teks fikih klasik yang mentradisi melawan kehendak pemerintah untuk melakukan unifikasi hukum. Persaingan ini menjadi parameter ekspresi baru yang cukup sensitif antara state dan society. Kecenderungan persaingan seperti yang terakhir ini menjadi sangat jamak di banyak negara Muslim.
Pergeseran semacam tersebut di atas, dalam konteks Indonesia, secara jelas digambarkan oleh munculnya secara berurutan teori receptio in complexu, teori receptie dan teori receptio a contrario; teori-teori yang mengindikasikan perdebatan otoritas penerapan hukum Islam. Sudah pasti bahwa penerapan teori-teori tersebut di atas mempunyai pengaruh terhadap format hukum Islam yang selalu direformulasi sesuai dengan kehendak kekuasaan.
Usaha reformulasi hukum Islam pada masa ini sangat mempunyai peluang, sedikitnya karena empat alasan. Pertama, nuansa perpolitikan yang kerap kali menjadi hambatan manifestasi ide-ide baru pembaharuan hukum tampak mulai melunak dan membuka pintu perubahan. Terjadinya krisis legitimasi di kalangan elite politik, menurut Daniel S. Lev, seringkali menjadi peluang nyata bagi munculnya reformasi atau reformulasi hukum. Kedua, menguatnya kelas menengah (middle class) yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa dan profesional. Kelas yang disebut sebagai linchpin oleh Lev dalam menjelaskan gerakan hukum ini menjadi the determining factor dalam perubahan-perubahan hukum di Eropa dan juga di Asia dan Afrika paska kolonial. Indonesia sendiri tentu bukan sebuah pengecualian. Munculnya pemikiran hukum yang cukup baru dan berani di kalangan yang kerap kali dicap sebagai tradisional serta maraknya kajian-kajian ilmiah di kalangan mahasiswa, plus demonstrasinya, merupakan salah satu qarinah bangkitnya kelas menengah ini. Ketiga, adanya semangat yang utuh untuk bergerak menuju terciptanya masyarakat madany (civil society) yang berarti pula pemberdayaan masyarakat sipil. Maka, mau tidak mau, perubahan-perubahan menuju keberpihakan terhadap masyarakat sipil menjadi suatu keniscayaan. Dan yang terakhir, munculnya sejarah baru perkembangan teori hukum yang mendukung perubahan hukum untuk kepentingan sosial di Indonesia, seperti teori sociological jurisprudence dalam hukum umum dan teori ‘urf dan maslahah dalam hukum Islam.
Terbuka lebarnya peluang untuk melakukan reformasi dan reformulasi hukum ini tentunya harus dimanfaatkan dengan melakukan sebuah pilihan bentuk reformulasi hukum yang diharapkan untuk terwujud. Tentunya, reformulasi hukum Islam yang diharapkan harus tetap mencerminkan karakter hukum Islam itu sendiri, yang bersifat elastis, adaptable dan applicable, yang bermuara pada terciptanya maqasid al-shari’ah, yakni kemaslahatan umum.
Untuk itu, maka reformulasi hukum Islam hendaknya lebih terfokus kepada kajian konteks, ketimbang kajian text. “Gugatan” terhadap dominasi teks fikih klasik yang banyak dianut secara buta sangat layak untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Yang pertama, teks fikih klasik tidak memiliki klasifikasi yang cukup rapi dan ditulis dalam style abad pertengahan, sehingga kurang mendukung efektifitas dan efisiensi administratif. Kedua, concern kajiannya lebih banyak tentang hal-hal dan isu yang tidak relevan lagi dengan kondisi umat Muslim kontemporer. Dan ketiga, adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme madzhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran-pemikiran kelompok lain.
Ketika kita berbicara tentang teks dan konteks, pelepasan konteks lama dan pengaplikasian dalam konteks yang baru, kerangka kerja interpretatif yang meliputi penggunaan teori dan pendekatan multidisipliner mutlak diperlukan, baik pendekatan dari disiplin ilmu ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Pendekatan-pendekatan seperti ini sangat jarang digunakan dalam pembuatan hukum di Indonesia, baik dalam praktek formal di Pengadilan Agama ataupun dalam praktek kemasyarakatan. Konsekuensinya adalah terciptanya gap yang begitu lebar antara what ought to be (apa yang seharusnya) dan what is (apa yang terjadi), atau antara law on the books dengan law in action yang terwujud dalam adat/ tradisi (the living law).
Dalam perkembangan terakhir, yakni munculnya KHI (kompilasi Hukum Islam), pendekatan sosiologis sudah tampak dengan jelas penggunaanya melalui pasal-pasalnya yang banyak melakukan kompromi dengan adat kebiasaan yang berlaku. Meskipun demikian, sebuah bentuk metodologi yang baku dan konsisten masih belum terlihat dalam KHI, sehingga ketidak ajegan istinbath hukum Islam kerap kali terjadi. Kerancuan metodologi hanya akan lebih banyak mewariskan kebingungan dari pada merangsang kreatifitas untuk berijtihad dan menciptakan kepastian hukum (legal necessity).
Ketidak pastian metodologi pengambilan hukum dalam KHI ini bisa jadi juga disebabkan oleh munculnya tekanan kepentingan politik yang begitu kuat, sehingga mengharuskan suatu pilihan hukum yang berbeda dengan pilihan hukum yang wajar yang akan didapat dari metodologi yang diambil secara normal.
Untuk itu, reformulasi hukum Islam mendatang mestinya membebaskan diri dari suatu keterpaksaan politik atau kekuasaan, walaupun kepentingan politik tetap menjadi suatu pertimbangan sebagaimana kepentingan sosial dan lainnya yang berada dalam konteks, dan mengarah kepada, kemaslahatan umum. Lebih dari itu, reformulasi tersebut harus berangkat dari suatu kepastian metodologi yang disepakati untuk dipakai dalam penetapan aturan-aturan formal. Metodologi istinbath hukum yang memberikan keluwesan pilihan hukum yang sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan tentu harus menjadi pilihan. Sedangkan dalam penetapan putusan hukum di lembaga fatwa, seperti MUI, atau organisasi-organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, PERSIS dan NU, dipersilahkan saja untuk menggunakan preference-nya masing-masing dalam hal penggunaan metodologi.
Tantangan dan Hambatan
Banyak pengamat hukum yang menyatakan bahwa unifikasi dan kodifikasi hukum dalam satu sisi memang menguntungkan karena ia menawarkan kepastian hukum, namun di sisi lain ia telah menjadikan hukum lamban untuk berubah, karena perubahan atau reformulasi hukum yang sudah dikodifikasikan akan memakan waktu yang sangat panjang. Pergeseran rujukan dari 13 kitab pilihan kepada KHI sebagai rujukan standard putusan PA saja telah membutuhkan waktu yang tidak kurang dari 32 tahun, termasuk pula upaya perubahan KHUP yang sampai saat ini masih terkatung-katung.
Dalam tataran pemikiran teoritisnya pun, ide-ide baru yang cukup bagus juga membutuhkan waktu yang lama untuk dipahami dan diterima oleh masyarakat. Ide Indonesiasi fikih yang dilontarkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqie pada tahun 1960-an baru mendapatkan tanggapan positif secara umum pada awal tahun 1990-an. Berikut pula ide-ide Hazairin dan Munawir Sadzali yang sempat ditanggapai secara sinis dan negatif. Kenyatan ini harus dianggap sebagai sebuah tantangan dan hambatan bagi mereka yang akan melakukan reformulasi hukum Islam.
Tantangan dan hambatan berikutnya adalah kenyataan bahwa Undang-undang dan peraturan yang ada tidak sepenuhnya efektif pemberlakuannya dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Mac Cammack tentang hukum perkawinan di Indonesia. Ketidak efektifan ini bisa dilihat dari dua sisi. Bisa jadi hal tersebut disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat akan Undang-Undang dan peraturan tersebut atau juga karena Undang-Undang dan peraturannya yang kurang bisa diterima secara sosial. Kalau kemungkinan pertama yang menjadi sebab, maka solusinya adalah pelaksanaan sosialisasi UU dan peraturan yang ada serta peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hukum. Jika kemungkinan yang kedua yang terjadi, maka perlu diadakan perombakan metodologis dalam reformulasi hukum itu sendiri.
Kekentalan penganutan terhadap teks fikih klasik di kalangan masyarakat kebanyakan bisa merupakan obstacle bagi tersosialisasinya unifikasi hukum seperti KHI, yang tidak hanya mencampur adukkan penggunaan empat madzhab yang populer, melainkan pula menggunaan pendapat di luar madzhab tersebut. Oleh karena itu, untuk mempertemukan dua kutub ini, maka sebuah reformulasi hukum sangat baik jika dimulai dengan pemasaran ide-ide dasar metodologisnya.
Hambatan dan tantangan tersebut di atas sesungguhnya hanya bersifat normatif-sosiologis yang masih bisa secara bertahap diminimalisir, sedangkan secara psikologis, selama pilihan hukumnya benar-benar berpihak kepada kemaslahatan umum, reformulasi hukum Islam tidak akan mengalami hambatan internal yang cukup berarti.